Selasa, 19 Februari 2008

FFI (02)

Rabu, 30 Nopember 2005. BUDAYA
Nominasi Aktor-Aktris FFI 2005 (2)
Terjebak Peran Tipikal dan Tema Monoton

TAK hanya Adisoerya Abdi yang secara implisit menjagokan Deddy Mizwar bakal meraih gelar aktor terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2005. Sutradara berbakat Rudi Soedjarwo juga berpendapat serupa. Sineas yang meroket lewat film Ada Apa Dengan Cinta? ini secara terbuka mengatakan aktor kawakan itu sebagai nominator yang paling layak meraih Citra. "Bahkan, filmnya (Ketika) pun secara emosi adalah sebuah film yang lengkap," kata Sutradara Terbaik FFI 2004 itu. Menurut Rudi, ada alasan yang logis mengapa dia tidak menjagokan para bintang muda seperti Nicholas dan Bucek, apalagi Mike Mulardo. "Kemampuan keaktoran mereka, dimata saya, bahkan belum mencapai satu persen. Jam terbang serta tempaan peran yang cenderung tipikal membuat mereka belum teruji," katanya. Rudi berpendapat lingkaran aktor muda Indonesia hanya dari itu ke itu, dengan kemampuan yang pas-pasan. Kondisi itu diperparah oleh ketidakberagaman tema cerita. Film Indonesia saat ini melulu berputar dari cerita horor dan cinta segitiga. Para aktor generasi sekarang seolah terjebak dalam tema cerita film yang monoton dan peran tipikal. Mereka tak berkesempatan memainkan berbagai macam karakter. "Inilah yang membedakan kualitas aktor lama seperti Deddy Mizwar dengan aktor-aktor sesudahnya," tegas Rudi Soedjarwo. Meski demikian, baik Rudi maupun Adisoeryo Abdi, tidak menampik kemungkinan kejutan-kejutan yang akan terjadi, atau dalam bahasa Slamet Rahardjo Djarot, "Tidak akan ada yang benar-benar tahu selera dewan juri". Empat Citra. Rasanya memang tidak adil mempertandingkan Deddy Mizwar dengan aktor-aktor muda yang masih miskin pengalaman. Namun apa boleh buat, penilaian dalam festival film memang tak membedakan pengalaman pesertanya. Karena itu, ketika nama Deddy Mizwar muncul dalam daftar nominasi pemeran utama pria terbaik FFI 2005, sejumlah kalangan langsung menjagokannya. Betapa tidak, aktor kawakan kelahiran Jakarta 5 Maret 1955 ini telah 12 kali masuk nominasi FFI dan meraih empat Piala Citra serta dua Piala Vidya (untuk sinetron). Dia masuk nominasi aktor terbaik lewat film Bukan Impian Semusim (1982), Sunan Kalijaga (1984), Saat-saat Kau Berbaring di Dadaku (1985), Kerikil-kerikil Tajam (1985), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986), Ayahku (1988), Putihnya Duka Kelabunya Bahagia (1989), Dua Dari Tiga Lelaki (1990), dan Jangan Renggut Cintaku (1990). Dia meraih Piala Citra untuk aktor terbaik lewat film Naga Bonar (1987) dan Arie Hanggara (1988), serta pemeran pembantu terbaik lewat Opera Jakarta (1986) dan Kuberikan Segalanya (1987). Deddy mengawali karier pada 1973 ketika aktif di Teater Remaja Jakarta. Dia mengasah kemampuan aktingnya di atas panggung teater. Hasilnya, dia pernah terpilih sebagai Aktor Terbaik Festival Teater Remaja di Taman Ismail Marzuki (TIM). Dia lalu belajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), yang sekarang menjadi IKJ, meski hanya bertahan dua tahun. Pada 1976, ia mengawali karier sebagai pemain film lewat Cinta Abadi (1976) arahan sutradara Wahyu Sihombing.Melihat pengalaman Deddy Mizwar, Nicholas Saputra nampaknya belum apa-apanya. Namun, tak sedikit pula yang menjagokan mahasiswa Universitas Indonesia itu yang bakal meraih Piala Citra untuk aktor terbaik. Apalagi dia diunggulkan lewat dua film sekaligus, Gie dan Janji Joni. Penonton usia muda, yang diyakini sebagai mayoritas penonton film Indonesia saat ini, bisa jadi lebih mengidolakan Nicho. Kondisi itu diakui atau tidak bakal mempengaruhi keputusan dewan juri FFI 2005. Tentu saja dengan catatan kekuatan akting Nicho dalam kedua film itu tak kalah jauh dari Deddy Mizwar. Ini demi tetap menjaga kualitas FFI. Slamet Rahardjo, yang beberapa kali meraih gelar aktor terbaik FFI, memuji keaktoran Nicholas Saputra dan para bintang muda lainnya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka, kehadiran para aktor dan sineas muda itu patut disyukuri. "Saya sering mendapat keluhan dari kawan-kawan, bahwa kualitas keaktoran dan film Indonesia saat ini menyedihkan. Buat saya itu tidak masalah. Lha wong yang ngritik juga nggak berbuat apa-apa!" katanya. (Benny Benke, bersambung-43)

Tidak ada komentar: