Kamis, 07 Februari 2008

St। Petersburg

Kota St. Petersburg.
The Hermitage, Museum Maha

ADAKAH kota dibelahan Eropa yang mampu menyamai keelokan Venesia, di Italia? Ada, St Petersburg namanya. Kota yang terletak di sebelah utara Moskwa, Rusia ini dibangun tahun 1703. Meski dibangun 100 tahun lebih muda dari kota New York, di Amerika Serikat. Namun, kota yang berbatasan dengan negeri Finlandia ini memang layak mendapat julukan Venesia dari Eropa timur.
Hal ini menjadi maklum karena kota yang dibangun oleh The Great Peter atau Peter Yang Agung ini memang melibatkan para arsitek ternama dari Italia pada masanya.
Nama arsitek seperti Domenico Trezzini, Jean Baptiste Le Blond, Mario Giovani Fontana, Johans Friedrich Chadel, Georg Johann Mattarnovi, Andreas Schulter dan Niccolo Michetti berandil besar dalam mewarnai St Petersburg dengan nunsa Italianya. Bahkan Bartolomeo Carlo Rastelli, yang dikenal sebagai pematung dan arsitek papan atas pada masa itu turut serta membangun kota ini. Demikian pula dengan keterlibatan pematung dan seniman Etiene Maurice Falconet.
Kemiripan antara St. Peterburg dengan Venesia semakin terlihat karena secara geografis kota St. Petersburg terdiri dari pulau-pulau kecil yang dipisahkan oleh puluhan sungai. Namun, karena kami datang pada saat musim dingin, puluhan kapal-kapal wisata yang biasanya melintasi sungai pun hanya ditepikan di dermaga yang membeku.
Sedangkan nama kota yang dapat ditempuh selama enam jam dari Moskwa dengan lokomotif ekpress ini, dalam versi Rusia terkombinasi dari beberapa bahasa. Kata ''St' terderivasi dari bahasa latin Saint yang diikuti oleh nama Apostel katolik Roma Peter, yang berarti ''Karang''. Dan kata ''Burg'', berarti ''Kota'' dalam bahasa Jerman atau Belanda. Meski ada juga yang percaya nama St Petersburg bermuara dari nama pendirinya, Peter Yang Agung.
Dalam perjalanan sejarahnya, kota yang sarat dengan bangunan bersejarah dan arsitektur Ghotik ini sempat empat kali berganti nama. Dan kaum komunis pun pernah mengagungkan St Petersburg sebagai kota kelahiran Revolusi 1917. Oleh karenanya nama St Petersburg pernah berubah menjadi Leningrad, sebagai bentuk penghormatan kepada Lenin. Yang mengawali revolusi dan perubahan di Uni Soviet pasca menggulingkan kekuasaan Tsar Nicolas II. Dan sebelumnya, kota ini pun sempat berganti nama menjadi Petrograd.
SETELAH usai mendeklamasikan 10 sajak dari 10 penyair terkemuka Indonesia dan kemudian mendiskusikannya dihadapan pengajar dan mahasiswa fakultas Ketimuran dan Melayu di St. Petersburg State University. Kami berbegas meninggalkan universitas dimana Lenin dan Putin pernah menjadi salah satu lulusan terbaiknya menuju The Hermitage.
Dengan berjalan kaki dibawah salju yang membadai dengan suhu minus 13 derajad celcius, kami pun menyusuri sungai Neva yang keberadaannya menjadi ikon yang tidak terlepas dengan kota St. Petersburg. Setelah melewati Taman dan Patung Losomonov yang dikenal sebagai bapak pendidikan Uni Soviet. Kemudian menyisir bangunan depan istana Menshikov sebelum akhirnya menyeberangi The Palace Bridge, atau jembatan Istana yang dapat membuka ditengahnya jika kapal lewat. Kami pun sampai di The Hermitage.
The Hermitage, yang berdiri bersisian dengan sungai Neva dan Palace Square dimana patung The Chariot of Glory berdiri di atasnya. Berhadapan persis dengan gedung The Admiralty yang juga mempunyai dermaga yang menempel di sungai Neva.
Sebagai museum terbesar di dunia dengan koleksi benda-benda seni yang bersejarah dan tidak ternilai harganya. The Hermitage, yang pada kekuasaan Tsar digunakan sebagai istana musim dingin (Winter Palaces of Peter the Great) ini memang tujuan favorit pelancong. Selain tentu saja masih banyak tempat bersejarah yang tak kalah eloknya di St. Petersburg seperti Peter's Square, Sungai Neva, Palace Bridge, Peter and Paul Fortress, The SS Peter and Paul Cathedral, Kapal Perang Aurora, Peterhorf dan The Summer palace of Peter the Great.
The Hermitage yang dibangun pada tahun 1754-62 oleh Rastrelli. Dan secara leksikal namanya berasal dari bahasa Prancis yang berarti ''a place of solitude'', atau tempat yang penuh dengan ketenangan. Memang benar-benar membuat hati kita tenang. Bayangkan, disana hasil karya seni dari para maestro dunia terpampang dengan perawatan yang sesuai dengan standar internasional sebuah museum. Suhu ruangan disesuaikan sedemikian rupa sehingga karya-karya lukis yang terpampang di sana dapat bertahan sangat lama kwalitas keasliannya. Sehingga pengunjung yang datang untuk menikmati hasil karya para maestro dunia pun benar-benar terpuaskan kegairahannya.
Dulu, ketika revolusi berlangsung pada tahun 1917, benda-benda bersejarah dan seni yang menjadi koleksi keluarga kerajaan. Seperti lukisan, patung dan ikon-ikon yang tidak ternilai harganya sempat raib dijarah massa yang kelaparan dan marah.
Meski pada akhirnya benda-benda bersejarah itu akhirnya dikembalikan oleh massa yang menjarahnya. Setelah Lenin menghimbau untuk mengembalikan semua barang yang telah diambil dari istana. ''Yang kita musuhi adalah para borjuis yang meninggalkan rakyatnya. Bukan benda-benda bersejarah yang tidak ternilai harganya,'' kata Lenin waktu itu, sebagaimana diceritakan oleh Henny Sujai, mahasiswa S2 Jurnalistik St. Petersburg State University.
Henny Sujai yang kemudian mengantar kami keliling St. Petersburg memang mengusai betul sejarah panjang kota yang jika kali pertama kita memasukinya, nuansanya seakan tidak jauh berbeda dengan kota Yogyakarta. ''Hampir semua mahasiswa Indonesia yang belajar di St. Petersburg dan pernah pergi ke Yogyakarta juga mengatakan hal yang sama,'' imbuh Henny, yang di salah satu mata kuliahnya mendapatkan mata pelajaran Culturologi. Jadi tidak aneh jika para mahasiswa yang mendapat mata kuliah Culturologi cenderung menguasai betul seluk beluk kultur Rusia.
Dan memasuki The Hermitage adalah pengalaman yang luar biasa. Bersama ratusan orang yang hampir setiap hari memadati museum itu kami mulai menyusuri setiap ruang, koridur, singgasana, tempat pesta, kamar membaca, ruang dansa-dansi, puluhan galeri dan berbagai tempat bersejarah lainnya dimana keluarga besar Tsar dulu pernah melewatkan keseharianya.
Dan lukisan dari maestro lukis mana yang tidak ada di Hermitage? Dari lukisan karya Jean-Honore Fragonard yang mashur dengan lukisan berjudul ''The Stolen Kiss'' (1790), Eugene Delacroix dengan ''Lionn Hunt in Morocco'' (1854), Vincent van Gogh dengan ''Cottages'' (1890), Paul Gauguin dengan ''Woman Holding a Fruit'' (1893), Pablo Picasso dengan ''Woman with a Fan'' (1908), Henri Matisse dengan ''The Dance'' (1910), Leonardo da Vinci dengan ''The Madonna with a Flower (the Benois Madonna, 1478)'', Fransisco Goya dengan ''Potrait of Antonia Sarate'' (1811), Raphael dengan ''The Conestabile Madonna'' (1502-3) hingga Rembrandt dengan ''The Return os the Prodigal Son'' (1634) semua ada di sini. Dan dalam versi originalnya!
''Lukisan-lukisan dalam versi asli ini jika digabungkan semua harganya bisa trilyunan rupiah,'' terang Henny Sujai bercanda। Tapi tunggu dulu, guyonan Henny Sujai memang beralasan, ''bahkan kalau memungkinkan semua benda bersejarah di museum Hermitage jika dilelang keuntungannya dapat menanggulangi krisis yang menimpa Rusia''. Ya, guyunan ini memang telah menjadi rahasia umum masyarakat di St. Petersburg. Namun, sebagaimana candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Semua benda bersejarah di Hermitage seperi patung karya Michelangelo (Crouching Boy, 1530), Auguste Rodin (Eternal Spring, 1897), Antonio Canavo (The Three Graces, 1813-16) dan Etienne Maurice Falconet (Winter, 1771) memang telah menjadi cagar budaya yang akan terus dijaga kelestariannya. (Benny Benke).



foto:



25dpeter.em ; The Hermitage, dari sungai Neva, malam hari.
25dpeter2.em; Koridor Raphael .
25dpeter3.em; Patung Cupid Wagging His Finger (1757), karya Etienne Maurice Falconet.
25dpeter4.em; Lukisan The return of the Progdigal Son (1660), karya Rembrandt.
25dpeter5.em; Lukisan The Madonna and Child (The Litta Madonna, 1480), karya Leonardo da Vinci.
(Foto: SM/Benny Benke).

Tidak ada komentar: