Minggu, 10 Februari 2008

Romusha: Jan Banning

Senin, 1 Maret 2004 . Budaya

Jejak Getir Korban Romusha

PERANG, apa pun alasannya, selalu meninggalkan kisah sedih baik bagi sang pemenang maupun yang tertaklukkan. Maka, proporsi "menang jadi arang, kalah jadi abu" pun menjadi stigma yang tidak terpisahkan bagi siapa saja yang "menyemarakkan" perang. Demikianlah Jan Banning, fotograper asal Belanda, mencoba bercerita tentang kisah sedih para korban kekerasan dan kebiadaban Perang Dunia II (saat Jepang menduduki Indonesia) dalam pameran foto bertajuk "Tracks of War/Jejak-Jejak Perang".


Ya, sebanyak 24 potret (berikut teks) dipajang dalam pameran yang digelar di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta. Objeknya adalah para lelaki yang pernah menjalani kerja paksa pada jalur kereta di perbatasan Thailand dan Burma, serta Pekanbaru, Sumatera dipajang. Banning, yang memulai proyek "mengumpulkan keping-keping kemanusiaan" ini dari emosi pribadinya (kakeknya diperkerjakan di jalur Burma, dan ayahnya di jalur Pekanbaru), berhasil menemukan 15 mantan tawanan perang kulit putih dan Indo di Negeri Kincir Angin. Satu orang di Jakarta, dan delapan orang mantan romusha dari Sumatera dan Jawa.


Sebelum memotret, Banning mengawali dengan mewawancarai para korban. Mereka "digiring" untuk mengenang pengalaman tergetir dalam hidup mereka, hingga akhirnya mereka difoto telanjang dada. Sang fotografer berhasil membidik pertanyaan dasar lewat pamerannya; Apakah akibat dari pengalaman yang sangat pahit selama menjalani kerja paksa itu untuk hidup mereka selanjutnya?


Simaklah misalnya pengakuan Ngadiyo, laki-laki kelahiran Gunung Kidul, Yogyakarta, tahun 1912. Ia adalah salah satu korban romusha. Ngadiyo menjalani kerja paksa di Singapura, lalu dipindah di jalur kereta api Birma-Siam. "Kami disuntik agar tetap sehat, tapi makanannya begitu sedikit. Banyak orang mati karena kelaparan." Ia menuturkan, jatah makanan untuk empat orang sebenarnya hanya cukup untuk satu orang. Ada juga yang mati karena beri-beri kering atau basah, juga malaria atau batuk darah.


"Setiap hari tiga orang meninggal, lalu menjadi lima sampai sepuluh orang. Dua ratus orang yang berangkat bersama saya dari Singapura, mungkin hanya 70 orang yang selamat." Seorang korban lain adalah Sardi. Laki-laki kelahiran 1928 di desa Candisari, Grobogan, Jateng ini menjadi romusha di jalur kereta api Muara Sijunjung, Pekanbaru. "Seorang kawan saya sakit, saya disuruh mengubur. Teman saya itu bilang, 'saya belum mati". Tapi kami harus menguburkannya. Jika tidak, kami bisa mati."


Dan yang lebih menyedihkan, pengalaman menjadi pekerja paksa ternyata bisa membuat orang mati rasa, seperti yang diakui Ben de Lizer. "Tidak gampang untuk membunuh orang. Tapi kalau sudah sekali melakukannya, kita tidak takut lagi," ujar Ben yang lahir 27 Oktober 1920 di Semarang. Menurut dia, jika saat ini ada orang yang melukainya, ia dengan tanpa rasa bersalah akan menembak orang tersebut. Ia tidak lagi peduli. Pada malam hari, ia kerap bermimpi. Namun ia tidak tahu mimpi apa. Ia selalu terjaga dan berteriak.


"Kalau saya dipanggil lagi oleh negara, saya akan ikut lagi karena senjata masih bisa untuk dipegang. Saya juga tidak tahu kenapa. Mungkin itulah akibat perang. Saya sudah membunuh banyak orang, sehingga membuat saya tidak takut mati. Kalau memang sudah waktunya, orang akan mati."(Benny Benke-79)

Tidak ada komentar: