Minggu, 10 Februari 2008

City of God

Kamis, 19 Februari 2004 . Budaya

Film Unggulan Academy Award
Tradisi Kekerasan di "Kota Tuhan"


BRASIL, sebuah negara di selasar Amerika Latin yang selama ini masyarakatnya dikenal sebagai ''pemeluk teguh'' sepak bola dan senantiasa melahirkan talenta baru di cabang olahraga tersebut, ternyata -sebagaimana tipikal negara berkembang lainnya- menyimpan sisi kelam kehidupan masyarakatnya. Dan beranjak dari kekelaman kisah nyata di sebuah kota bernama Cidade de Deus, di Rio de Jenerio, itulah sebuah film berjudul City of God lahir.


Film berdurasi 130 menit dan ber-genre drama action hasil besutan Fernando Meirelles tersebut, sanggup membetot perhatian para kritikus film dunia. Film itu penuh dengan adegan baku tembak, darah muncrat, dan tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Sinema yang diproduksi 2002 tersebut, terasa "menghentak" bukan karena para pelakonnya sudah tersohor, melainkan justru karena hanya sekumpulan anak jalanan berusia belasan diarahkan untuk berakting dengan wajar, natural, dan artifisial (apa adanya). Dan hasilnya sungguh menakjubkan, empat nominasi Academy Award diraihnya.

Untuk sementara, Fernando Meirelles bisa tersenyum bangga. Sebab, selain menempatkan namanya sebagai nominator sutradara terbaik -bersaing dengan sineas-sineas mapan seperti Peter Jackson (The Lord of The Ring: The Return of The Ring), Peter Weir (Master and Commander: The Far Side of The World), Clint Eastwood (Mystic River) dan Sofia Coppola (Lost In Translation)-, film City of God ikut meramaikan persaingan dalam kategori best cinematography, best film editing, dan best adapted screenplay (Brulio Mantovani).

Dari empat nominasi yang didapatkan, peluang paling besar -menurut para kritikus film- yang akan diraih oleh City of God adalah kategori naskah adaptasi terbaik. Hal itu dimaklumkan, karena film tersebut berangkat dari kisah nyata -bukan mitos-, dan mempunyai kekuatan dramatis yang sangat kuat dibanding nominator lainnya, seperti American Splendor, The Lord of The Ring: The Return of The King, Mystic River dan Seabiscuit.

Kota Setan

Kengerian kisah nyata yang digulirkan oleh film yang dibintangi Alexandre Rodrigues, Matheus Nachtergaele, Alice Braga, Seu Jorge, Leandro Firmino da Hora, dan sejumlah bintang baru, itu memang mendapat banyak pujian. ''Sadis, menghentak, namun penuh keindahan,'' ulas surat kabar New York Post. "Itu adalah film langka yang dibuat dengan teramat menggoda pemirsanya, hingga tanpa sempat membuat perbandingan dengan film lainnya,'' lanjut ulasan tersebut. Bahkan surat kabar Chicago Tribun menetapkan kepelikan film tersebut berada satu tingkat di atas sinema garapan Alejandro Gonzales Innaritu; Ameros Perros.

Film yang bernarasi tentang kehidupan anak-anak yang tumbuh dan berkembang di jalanan dengan sepak terjang gengnya (slum) masing-masing sembari menenteng pistol itu, bertitik sentral pada pengisahan dua anak yang menjalani nasib berbeda. Salah satunya bernama Rocket (Alexandre Rodrigues). Karena muak dengan iklim kekerasan yang saban hari hadir di hadapannya, ia berketetapan menjadi seorang fotografer.

Sedangkan anak satunya -bernama Little Ze (Leandro Firmino da Hora)-, bersama karibnya meneruskan tradisi kekerasan di City of God. Yaitu, menjadi berandalan dengan mamasok narkoba ke seantero kota, serta berperang dengan siapa saja yang menghalangi bisnisnya. Meski aparat penegak hukum seperti polisi mengadangnya, kesadisan Little Ze tetap menggelinding mulus di kota kelam tersebut. Angle itulah, yang membuat City of God tak ubahnya kota setan yang setiap hari mendatangkan ketakutan, karena aturan ditegakkan oleh siapa pun yang memegang senapan.


Di "kota tuhan" itu, usia kanak-kanak biasanya tidak lebih dari 15 tahun. Dan merupakan mukzizat, apabila seorang anak mampu mempertahankan usianya lebih dari 15 tahun tanpa hengkang dari kota tersebut. (Benny Benke-41)

Tidak ada komentar: