Selasa, 11 Maret 2008

Jamila & sang Presiden

Kamis, 27 Juli 2006 . BUDAYA
Murka Jamila Murka Ratna
AKU lebih memilih Presiden untuk meniduriku sebagai permintaan terakhir daripada memintanya memberikan pengampunan. Karena pengampunan berarti akan memberikan kesialan-kesialan berikutnya.'' Itulah ucapan Jamila 2 (Atiqah Hasiloan) kepada Kepala Sipir Penjara Bu Ria (Peggy Melati Sukma) ketika hendak dihukum mati. Ya, bagi dia, lebih baik mati dan masuk neraka. Apalagi nerakanya pasti berbeda dari neraka para politikus dan pejabat negara. Sang pelacur berusia 26 tahun itu telah membunuh seorang menteri yang menidurinya. Namun ketika dia meregang nyawa, Presiden datang untuk menyaksikan prosesi hukuman mati itu. Ketika lakon sepanjang 105 menit itu berakhir, penonton menampakkan kelegaan. Ya, sebelumnya mereka terteror lakon penuh amarah atas kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya di negeri ini itu. Pertunjukan itu meneguhkan kredo Ratna Sarumpaet, penulis naskah, sutradara, dan motor Teater Satu Merah Panggung, bahwa teater adalah alat menunjukkan, menyampaikan, dan mengampanyekan pikiran. Di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Selasa (25/7) malam, Ratna menumpahkan ide dan kemarahannya atas ketimpangan di negeri ini. Dia menghantam siapa saja yang berseberangan dengan subjektivitasnya. Panggung Minimalis . Lakon Jamila & sang Presiden mengingatkan khalayak pada kesuksesan Marsinah, Nyanyian dari Bawah Tanah (1994) dan Marsinah Menggugat (1997). Lebih sukses daripada Pesta Terakhir (1996), Alia, Luka Serambi Mekah (2000). Dia akan mementaskan lakon itu di Surabaya (4-5/8), Medan (11-12/8), Bandung (21-22/8), dan Palembang (25-26/8). Sebelumnya dia mementaskannya dengan judul Pelacur & sang Presiden saat berkolaborasi dengan perupa Jeihan di Balai Sudirman, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dalam versi baru kali ini, tempo mengalir lebih cepat, berderap-derap. Pertunjukan disesaki protes khas Satu Merah Panggung. Untung, para pelakon utama seperti Atiqah Hasiloan, Lolla (Jamila 1), Peggy Melati Sukma, dan Rita Matu Mona (Ibu Darmo), mampu berperan dengan baik. Dukungan penataan tari Boy G Sakti, koreografer Gumarang Sakti Dance Company, mempertinggi tegangan lakon itu. Panggung minimalis dipadu kekuatan naskah yang tersampaikan dengan teknik kilas balik membuat penonton mudah mencerna. Satu yang mengganggu adalah obral kemarahan sepanjang pertunjukan. Ya, hampir semua peraga marah sehingga menghantarkan semua dialog lewat pekikan, teriakan, dan jeritan. Padahal, bukankah diam bisa menjadi puncak kemarahan? Lewat sosok Jamila 1 dan Jamila 2, Ratna mencapai titik kemurkaan. Mereka terus-menerus marah dan mengutuki nasib. Terus-menerus menyerapahi hidup dan orang-orang yang menjerumuskan mereka ke lembah nista. (Benny Benke-53)

Tidak ada komentar: