Kamis, 21 Februari 2008

"Serambi"

Jumat, 30 Desember 2005. BUDAYA
Preview Film "Serambi"
Tsunami di Mata Korbannya

''Tsunami artinya Tuhan tidak adil,'' ujar seorang bocah kepada kawannya. ''Hush, tidak boleh bilang seperti itu. Tuhan Maha Adil. Apa pun yang diberikan Tuhan adalah kuasa-Nya,'' jawab bocah lainnya. Mendengar pembicaraan kawan-kawannya, bocah yang lain tertawa. ''Hush. Jangan ketawa, nanti diambil tsunami''.


NUKILAN di awal film dokudrama atau dokumenter semi drama terbaru karya Garin Nugroho, Viva Westi, Tonny Trimarsanto, dan Lianto Luseno itu, membuka Serambi dengan linear. Film berdurasi 80 menit yang proses pembuatannya diawali pada Februari 2005, atau dua bulan setelah tragedi memilukan itu, sebagaimana tipikal film Garin, cenderung bercerita dengan simbolik. Hal ini menjadi maklum mengingat Garin berposisi sebagai konseptor kreatif sekaligus supervisi sutradara. Sedangkan tiga sutradara muda lainnya ''hanya'' menjadi pelaksana konsep. Tipikal film yang "sangat Garin" ini terlihat dari penghadiran suasana lokal bumi serambi Mekah yang pekat dengan nuansa Islaminya, namun dibungkus dalam nuansa global dengan kehadiran ''Che Guevara'' lewat tokoh Reza Idria. Hal ini mengingatkan pada film Garin terdahulu ''Padang Rumput Savana'' lewat kehadiran ''Elvis Presley'' yang diwakilkan tokoh Kuda Liar yang diperankan Adi Kurdi. Perihal rumusan klasik ini, Garin mengakuinya. ''Dengan mengaitkan nilai-nilai lokal dalam balutan nuansa global, maka apresian penonton yang lintas bangsa dapat terjembatani,'' tutur Garin seusai preview perdana di Jakarta, kemarin. Serambi yang diproduseri Christine Hakim bekerja sama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Bank BNI ini pada dasarnya memotret kondisi kekinian Aceh pascabencana dengan sajian tiga cerita yang berjalan seiring. Film ini tidak mengangkat peristiwa-peristiwa besar namun hal-hal yang terkesan remeh namun pada dasarnya sangat esensial pascabencana. Serambi justru mampu menghadirkan potret-potret kuat manusia Aceh dalam meneruskan hidup. ''Pada dasarnya film ini berkisah tentang orang-orang yang kehilangan namun tetap bertahan dengan kehidupannya'' tutur Garin mengingatkan. Para tokoh yang memerankan dirinya sendiri seperti Maisarah Untari (Tari), Reza Idria, Azhari, Lisa Aulia (generasi muda), serta Usman, Jaelani, Hasyim Mulyadi, dan Cut Putri (generasi dewasa) menarasikan kehilangan mereka dengan apa adanya. Tanpa tuntunan skenario atau jalan cerita, mereka semua menjadi dirinya sendiri dan bertutur tentang kehilangan tak terkira atas orang-orang tercinta. ''Semua adegan dan dialog diambil lewat spontanitas pembicaraan para pelakonnya yang memang kehilangan orang-orang terdekat mereka,'' ujar Christine Hakim. Contohnya penuturan Usman (45), penarik becak motor khas Aceh Meulaboh. Usman yang sebatang kara karena seluruh anggota keluarga dan rumahnya lenyap ditelan tsunami, mempunyai kebiasaan baru untuk terus mengenang keluarganya. Ia hanya mau makan di bekas reruntuhan rumahnya, tempat istrinya dahulu tersenyum menyambutnya, dan anak-anaknya yang manis merindu derum motornya. (Benny Benke-45)

Tidak ada komentar: