Minggu, 24 Februari 2008

Pram

Rabu, 08 Februari 2006. BUDAYA
Ketika Pram Patok Harga Tinggi
JAKARTA-Siapakah sastrawan Indonesia yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam 37 bahasa dan sekaligus satu-satunya penulis yang paling tidak bisa dimengerti berbagai rezim di Indonesia? Jawabnya adalah Pramudya Ananta Toer. Demikianlah kesimpulan Taufik Rahzen, budayawan yang memandu acara Kongkow Budaya baru-baru ini bersama sastrawan kelahiran Blora, 6 Februari 1925, tersebut. Acara itu merupakan salah satu agenda perayaan ulang tahun yang digagas Taring Babi, Indonesia Buku (Ibuku), Dewan Kesenian Jakarta, dan berbagai institusi kepemudaan lainnya. Perayaan ultah sastrawan "32 Batang Rokok", demikian ia biasa disapa orang dekatnya, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Senin (6/2), itu terhitung meriah. Berbagai rumor terkini perihal kegiatan penerima Ramon Magsasay Award untuk kategori Jurnalistik, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif (1995) itu didedah bareng sang empunya. Dari penyakit kepikunannya yang membuat Pram tidak bisa berkarya lagi dalam sepuluh tahun terakhir, tampikannya terhadap ikhtiar sutradara Hollywood, Oliver Stone, sampai kritikan para pencinta sekaligus pengagumnya yang menengarai pola pikirnya telah berubah menjadi kapitalis. Dalam Kongkow Budaya yang juga dihadari Max Lane, penerjemah karya Pram ke dalam bahasa Inggris, Yenni Rosa Damayanti, Rieke Dyah Pitaloka, Happy Salma hingga komunitas musik punk Jakarta Raya, Pram bahkan mengecam generasi pemuda sekarang yang tidak mampu melahirkan pemimpinnya sendiri. "Delapan puluh satu tahun adalah umur yang tidak pernah saya bayangkan, dengan segala kepahitan dan kegetirannya," tuturnya datar. "Betapa tidak terbayangkannya karena sejak sepuluh tahun kebelakang sejak umur 70 tahun saya berhenti menulis sama sekali". Mengapa penulis tetralogi Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) yang melambungkan namanya ini berhenti menulis? "Karena saya sudah pikun. Apa yang ingin saya sampaikan di tengah jalan pasti lupa," imbuhnya. Karena penyakit pikun itulah dia tidak dapat memilih kata-kata yang tepat. "Tapi pikun itu ada baiknya. Baiknya apa. Kalau ditagih saya mempunyai alasan yang tepat," katanya yang mendapat sambutan gelak tawa hadirin yang memenuhi arena Teater Kecil hingga larut malam. Harga Tinggi. Rumor perihal terlalu tingginya harga yang dipatok Pahlawan Asia versi majalah Times Singapura (2002) atas buku Gadis Pantai, bagi para pembuat film yang hendak memvisualkan novelnya memang telah bergulir dua tahun terakhir. Pertanyaan itu akhirnya mengemuka kembali. Pram yang diberi izin hadirin untuk merokok di atas panggung pun akhirnya membuka kartunya. "Hak untuk memfilmkan karya saya minimum seharga Rp 1,5 milyar untuk jangka waktu lima tahun. Masalah mau diinterpretasikan secara visual seperti apa itu terserah film maker karena itu sudah bukan bidang dan dunia saya," katanya. Kejujuran Pram ini seketika mendapat respons keras dari Yenny Rosa Damayanti. Bagi Yenny, kekecewaanya terhadap cara Pram memperlakukan karyanya seperti properti yang dijual untuk sebuah harga, tanpa mempertimbangkan karya tersebut adalah warisan bangsa, tak ubahnya seorang kapitalis.
"Karena bagi saya, karya Pak Pram adalah karya yang harus disiarkan, disebarkan, dipetakan, difilmkan, dipentaskan, dimainkan oleh siapa pun juga demi kemanusian, bukan demi sebuah harga". Menanggapi kekecewaan tersebut dengan tenang Pram menjawab: "Karya itu mutlak kepunyaan saya, jadi jika ada yang tidak suka dengan cara memperlakukan hak cipta saya sendiri, itu hak publik. Silakan," katanya. "Sejak tahun 65 semua milik saya dirampas, namun tidak ada yang membela sampai sekarang, dari rumah, buku dan semuanya. Ketika saya bawa masalah ini ke pengadilan, mereka bilang, salah alamat. Gimana ini?". Ketika suasana tegang, seorang hadirin berceloteh: "Pram juga manusia..." Dendang hadirin itu sembari menirukan nada tembang "Rocker Juga Manusia" milik Seureius Band, spontan membuat hadirin tertawa, kecuali Pram. Dukungan untuk mematok harga yang tinggi justru datang dari Max Lane dan Doddy Achmad Fawzy, penerbit buku. "Dengan mematok harga yang tinggi justru membuat profesi sebagai penulis akan semakin bermartabat," ujar Doddy. Meski mematok harga tinggi untuk karya-karyanya, bukan berarti Pram memasang harga yang sama bagi kelompok teater yang hendak mementaskan salah satu karyanya. "Bahkan selama ini Pram terlalu sering ikut membiayai kelompok teater maupun grup band yang hendak naik panggung," tutur Taufik Rahzen. (Benny Benke-45)

Tidak ada komentar: