Jumat, 08 Februari 2008

Sampek engtay, Koma

Kamis, 16 Februari 2006. BUDAYA

Pentas ''Sampek Engtay''
Pabrik Ketawa Teater Koma


JAKARTA-Teater Koma tampaknya tidak akan pernah bisa lepas dari stigma yang selama ini menempel di grup tersebut, yaitu pabrik ketawa. Dalam pentas perdana lakon Sampek Engtay, Selasa (14/2) malam, misalnya kelompok teater yang berdiri sejak 1977 itu kembali memperteguh stigma tersebut. Meski lakon tragedi cinta ini telah dipentaskan sebanyak 80 kali sejak 1988, kesegarannya masih saja mampu menghibur. Lebih dari 500 penonton yang menyesaki Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) yang menjual tiket seharga Rp 75 ribu pun diganjar dengan kepuasan puncak. Betapa tidak, hampir sepanjang pertunjukan, 30 pemain dari angkatan 2000 dan 2005 Teater Koma dan 20 kru pendukung tidak henti-hentinya mengocok perut penikmatnya. Nano Riantiarno sebagai penulis naskah yang merangkum naskah asli dari 12 versi cerita Sampek Engtay yang berbeda tidak hanya jeli menyuguhkan kekuatan naskah. Lebih dari itu, keaktoran generasi muda Teater Koma dalam menyampaikan apa yang ingin disampaikan , mampu disampaikan dengan ringan, mengena, sekaligus menghibur. Meski tidak sempurna benar, seperti dalam beberapa adegan yang terlalu berlarat-larat dan bertele-tele, kondisi itu tidak mengurangi bobot pertunjukan secara keseluruhan. Ya, Teater Koma ditangan Nano Riantiarno memang masih piawai dalam urusan membungkus tragedi dalam balutan komedi. Tragedi kisah cinta antara Sampek dan Engtay yang dalam versi aslinya penuh dengan cakapan yang mengharu-biru, menyayat-nyayat, dan membuat berlinang air mata pengapresiasinya, di tangan Koma berubah menjadi penuh gelak dan canda tawa. Sehingga tidak salah jika Putu Fajar Arcana, seorang kawan berujar tak ubahnya menonton acara Extravaganza sebagai-mana yang disiarkan salah sebuah stasiun televisi nasional swasta. Sebagaimana Sampek Engtay yang pernah dipentaskan di Gedung RRI, Jl Achmad Yani Semarang tahun 1999 lalu, alur penceritaan, pengadeganan, dan ending lakon ini masih sama. Setting-nya lebih teliti, mewah dan terperi serta kostum semakin mengalami penyempurnaan, dan penambahan beberapa adegan. Namun, secara keseluruhan tragedi-tawa Sampek Engtay ala Teater Koma adalah sama.
Dikisahkan Engtay (Tuty Hartaty) adalah seorang perempuan muda nan ayu dari Serang Banten hendak menuntut ilmu ke kota besar bernama Betawi. Atas izin kedua orang tuanya, Ciok, berangkatlah Engtay yang menyaru sebagai lelaki ke kota paling besar di zaman Hindia-Belanda itu. Sesampai di Betawi, bertemulah Engtay dengan Sampek (Paulus Simangunsong), yang mempunyai kepentingan sama: menuntut ilmu di sekolah Poetra Bangsa yang terletak di Glodok, Mangga Besar. Di asrama sekolah itulah pertalian persaudaraan antara Sampek dan Engtay yang ditempatkan sekamar mulai dan semakin terjalin dengan erat satu sama lain. Kelucuan-kelucuan tentang proses Engtay yang menyaru sebagai laki-laki di antara kawan-kawan sekolahannya inilah yang memancing tawa. Hingga akhirnya, atas nama cinta, Engtay berterus terang kepada Sampek tentang identitas sejatinya. Namun, pada saat yang bersamaan Engtay dipanggil pulang untuk dinikahkah dengan Macun (Sena Sukarya), putra Kapten Liong (Sugi Haryanto), tuan tanah dari Rangkasbitung. Sampek pun patah hati, kalah oleh cinta, menafikan logika, menuruti perasaannya yang lara dan akhirnya mati merana. Hingga akhirnya arak-arakan pernikahan antara Engtay dan Macun melewati makam Sampek. Engtay pun meminta waktu sebentar untuk mengirimkan doa kepada kekasih sejatinya itu. ''Tak ada yang bisa memisahkan cinta kita, tidak juga kematian,'' isaknya di pusara Sampek.Pada saat bersamaan, tiba-tiba kuburan Sampek membuka, maka tanpa berpikir panjang, melompatlah Engtay ke dalam kuburan kekasihnya, meninggalkan Macun yang murka. Ketika kuburan dibongkar paksa, jasad Sampek dan Engtay tidak tersua, hanya meninggalkan dua batu biru dan dua tawon kuning, yang kemudian berubah menjadi sepasang kupu-kupu, dan diikuti jutaan kupu-kupu lainnya. Semua yang menyaksikan adegan ini terkesima, beberapa di antaranya bahkan menyeka air mata. Menangis tertawa. (Benny Benke-45)

Tidak ada komentar: