Jumat, 08 Februari 2008

Putu Wijaya

Selasa, 26 Juni 2007. BUDAYA

Putu Ejek Diri Sendiri
Oleh Benny Benke

PUTU Wijaya selalu tahu bagaimana menertawakan diri sendiri dan lingkungannya. Lewat lakon terbaru, Cipoa, yang dipentaskan akhir pekan lalu di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, dia bersama Teater Mandiri kembali menertawakan keadaan. Dia menangani sendiri naskah dan penyutradaraan lakon 90 menit itu. Dia pun bersetia dengan pola pemanggungan Teater Mandiri. Namun muatan penyadaran tetaplah relevan dengan kondisi kekinian. Dia masih mengandalkan media layar backdrop putih untuk menggambarkan pengadeganan. Layar itu disorot lampu dari belakang panggung sehingga menghasilkan siluet. Ada pula boneka raksasa yang menyembulkan puluhan balon berbagai ukuran ke udara. Para pemain pun mengelebatkan bendera raksasa kian-kemari. Muncul pula efek kesemrawutan dari teriakan dan pekikan, ditingkahi musik memekakkan telinga, diperlengkap semburan asap putih dari dry ice. Tak ayal, "teater teror" yang ditawarkan pun terasa biasa-biasa saja, khas Mandiri. Untung, sebagai sastrawan Putu mahir melahirkan barisan kata lewat dialog para tokoh. Cipoa pun' menjadi bernas karena dialog-dialog itu.

Halalkan Cara
Cipoa dibuka oleh monolog panjang Semar (Putu Wijaya) tentang keadaan di sebuah negara dengan terlalu banyak penghuni berupa raksasa. Namun, raksasa itu telah lelah hidup dan memangsa manusia. Anehnya, banyak manusia justru berniat jadi raksasa. Mereka mengejar ambisi dengan menghalalkan berbagai cara. Akhirnya, Semar berubah jadi sang juragan pertambangan emas yang mengeksplorasi kekayaan alamnya demi keuntungan pribadi. Tipu-menipu dan berbagai muslihat dia gunakan dengan mengorbankan keadaan dan kepentingan para pekerja. Putu mengisahkan konflik antara juragan dan pekerja itu dengan baik, tanpa menginggung keadaan pemimpin dan rakyat Indonesia. Namun, penonton otomatis tahu ke mana lakon itu hendak dibawa. Sindiran, kritik pedas, dan teguran diberondongkan lewat dialog. "Dalam siasat pembangunan, berbohong diperlukan. Berbohong itu wajib," kata sang juragan. Ketika para pekerja menuntut keadilan, sang juragan dengan tegas "menggebuk" mereka. "Kekerasan perlu ditegakkan untuk mengejar kebenaran," katanya. Kebenaran untuk dan milik siapa? Milik penguasa tentu saja. Lakon itu juga didukung Rieke Dyah Pitaloka serta para aktor senior Teater Mandiri, seperti Arswendi Nasution. Pertunjukan usai ketika Butet Kartaredjasa dengan jas lengkap naik ke panggung. Dia membacakan sajak "Tanah Air Mata Kami" milik Sutardji Calzoum Bachri dengan suara mirip mantan presiden Soeharto. (71,53)

Tidak ada komentar: