Jumat, 08 Februari 2008

koma

Senin, 14 Januari 2008

BUDAYA, Pertunjukan yang Purna
Oleh Benny Benke

"Hanya Tuhan yang mampu membuat kita terlihat bodoh dengan cara terhormat."
TEATER Koma adalah kelompok teater modern terkini di Indonesia dengan hampir semua aktornya mampu mempertunjukkan kemampuan merata dan mumpuni. Kemahiran mereka menunjukkan seni akting memikat tampak saat kelompok yang dibentuk 1 Maret 1977 itu mempertontonkan lakon ke-112, Kenapa Leonardo?, di Graha Bhakti Budaya TIM, Jakarta, 11-25 Januari. Apa yang istimewa dari lakon yang berangkat dari naskah bernas Evald Flisar, penulis Slovenia itu. Jawabnya adalah keutuhan sebuah pertunjukan teater. Naskah dialihbahasakan oleh Rangga Riantiarno, putra motor, pemikir, sekaligus inpsirator Teater Koma, yakni pasangan Nano dan Ratna Riantiarno. Lihatlah, ketika penonton masuk ke arena pertunjukan, sebuah setting mewah realis yang digarap skenografer Onny Koes sudah cukup mencitrakan lakon apa yang hendak disajikan. Sebuah lukisan raksasa berukuran lebih dari 3 x 3 meter menggantung di sisi kanan panggung, yang mengisahkan peristiwa Merchant of Venice karya Shakespeare. Ada pula empat kopi lukisan kecil karya maestro Van Gogh di kiri panggung, serta beberapa sofa, rak buku, dan meja makan besar yang mencitrakan kehidupan masa pertengahan. Setting itu sudah sangat berbicara. Ketika tokoh Martin (Budi Ros), Bu Risah (Sari Madjid), Prefoser Karuso (Dudung Hadi), Pak Ndus (Dorias Pribadi), Rebeka (Tuti Hartati), dan Pak Miring (Joko Yuwono/ Adri Prasetyo) membuka dialog, ketahuanlah siapa mereka sebenarnya: para pasien di sebuah lembaga syaraf.

Komikal

Dua puluh menit kemudian, sebagai pembuka sekaligus perkenalan para tokohnya, penonton diperkenalkan kepada satu per satu pasien yang sejatinya memiliki kecenderungan sebagaimana manusia normal di luar sana, yang tetap membutuhkan cinta, pengakuan, dan rasa aman. Meski tentu saja, semua itu disajikan dengan komikal sebagai trade mark Teater Koma. Ketika tokoh Dr Hopman (Nano Riantiarno) dan Dr Dasilva (Cornelia Agatha) nimbrung di antara mereka diiringi perawat (Herlina), kompleksitas mulai dibangun. Selanjutnya, secara pelan dan pasti lakon yang maraton bergulir selama empat jam itu, menyatukan perca demi perca permasalahan dengan intensitas yang mencekam. Apalagi terkuak sebuah perselisihan antara Dr Hopman yang arif, mengasihi serta memanusiakan pasiennya versus Dr Dasilva yang ambisius menemukan sebuah metode penyembuhan atas nama gelar PhD-nya. Perseberangan pandangan antara nilai-nilai kemanusiaan dalam menangani orang-orang yang dipandang sakit dengan ilmu pengetahuan inilah yang menjadi menu utama cerita. Nano sebagai sutradara yang matang tahu betul bagaimana menyajikan persebarangan itu dengan sangat mengena. Sehingga meski lakon yang kali ini tanpa iringan musik itu, tetap tidak kehilangan intensitasnya sebagai sebuah tontonan memikat. Buktinya, durasi empat jam yang sebenarnya sangat melelahkan itu berhasil dilipat lewat keaktoran yang aduhai. Harmonisasi antara kuatnya naskah, keaktoran, penyutradaraan, skenografi, pencahayaan, kostum apik karya Samuel Wattimena, dan berbagai elemen lainnya menjadi kunci utama purnanya lakon Kenapa Leonardo?

Tidak ada komentar: