Jumat, 08 Februari 2008

Profesor Sardono W. Kusumo

Selasa, 6 Januari 2004 . Budaya

Maestro Itu Kini Bergelar Guru Besar

SARDONO Waluyo Kusumo (58), maestro tari kelahiran Solo, Jawa Tengah, 6 Maret 1945, pada 14 Januari 2004 akan mendapatkan gelar guru besar dalam bidang ilmu seni tari. Penganugerahan gelar profesor dari Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesian itu, berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional nomor 9601/A2.7/KP/2003, yang dikeluarkan pada 31 Mei 2003. Meski penganugerahan itu berkesan unik, karena gelar profesor itu baru kali pertama dianugerahkan kepada seorang seniman yang tidak sempat menyelesaikan pendidikan formal setingkat sarjana (strata 1) sekalipun, tidak ada yang dapat menyangkal besarnya sumbangsih yang telah diberikan Sardono kepada dunia pendidikan seni tari di Tanah Air. Tak cuma itu, koreografer papan atas tersebut juga telah banyak memperkenalkan serta mengembangkan khazanah tari Nusantara ke mancanegara, sejak berusia muda hingga sekarang. Seniman yang mendapatkan penghargaan Prime Clous Award dari Pemerintah Kerajaan Belanda (1998) dan penghargaan kehormatan seni dari Society for Performing Art Singapura (2003) tersebut, juga telah disejajarkan namanya dengan Maurice Bejart dan Robert Wilson, dua kreator seni tingkat dunia, sejak 1974. Pada saat disejajarkan itu, Sardono -salah satu tokoh pendiri Lembaga Kesenian Jakarta (cikal bakal Institut Kesenian Jakarta, IKJ), dan pengajar program pascasarjana di STSI Solo itu- masih berusia 29 tahun. Nama seniman yang telah mengelilingkan karyanya ke berbagai belahan penjuru dunia -mulai dari India, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Durham, Jerman, hingga Prancis- itu mencuat ketika repertoar Dongeng dari Dirah (1974), salah satu karya fenomenalnya yang diangkat dari cerita rakyat Bali (Calonarang), dipentaskan keliling dunia dan mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat seni tari internasional. Tarian itu, memadukan penari alam Bali dengan unsur-unsur tarian Jawa dan kontemporer. Jauh sebelumnya, Sardono muda juga telah menghasilkan karya yang tak kalah memikatnya; antara lain Samgita Pancasona (1968), Ngrenaswara (1970), Cak Tarian Rina (1971), dan Paussieres et Lumieres de Chaillot (1973).

Sarat Nilai

Kemudian, didukung stamina yang terjaga terus, Sardono Waluyo Kusumo menyentosakan namanya dengan senantiasa mengeksplorasi tari Nusantara ke level dunia lewat karya-karya sarat nilai dan penuh pukau, seperti Yellow Submarine (1977), Kisken Kanda (1978), Meta Ekologi (1979), Hutan Plastik (1983), Hutan Merintih (1987), Maha Buta (1988), Ramayanaku (1990), Floating Light (1991), Passage Through the Gong (1993), Detik...Detik.. Tempo (1994), Opera Diponegoro (1995), Soloensis (1997), Su-Sanu Eden (1999), Ziarah Ragawi dan Biography of Body (2000), serta terakhir Nobody's Body (2002). Prosesi penganugerahan gelar profesor itu, akan dilangsungkan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, selama dua hari (14-15/1). Acara tersebut, juga dimeriahkan dengan beberapa pertunjukan. Yaitu, pemutaran film Meta Ekologi, sebuah karya yang menampilkan secara utuh pengalaman batin Sardono ketika tinggal dan terlibat dengan masalah lingkungan yang dihadapi masyarakat Dayak Kenyah di Kalimantan. Lalu, pementasan karya tari Nobody's Body yang telah diperbaharui; serta pemutaran film Dongeng dari Dirah, hasil penyutradaraannya sendiri yang mengambil lokasi syuting di desa Teges, Bali pada 1992. Selain itu, dalam pengukuhan dirinya sebagai guru besar, Sardono juga menyiapkan sejumlah pemikiran yang akan disampaikannya dalam bentuk pidato kebudayaan. Orasi kebuyaan itu, berisi dan mengulas tentang bagaimana otonomi dan desentralisasi politik telah memengaruhi perkembangan kesenian daerah, yang menjadikan kesenian daerah eksklusif dan terlalu bersifat kedaerahan. Sisi lain yang menjadi sorot pemikiran sardono adalah soal religiusitas dan pluralisme dalam seni. Secara khusus, acara itu juga menandai diluncurkannya buku berisi kumpulan tulisan restropeksi kesenian yang pernah ditulis Sardono berjudul Hanuman, Tarzan, Homo Erectus. (Benny Benke-41)

Tidak ada komentar: