Sabtu, 16 Februari 2008

Infotainment

Rabu, 31 Agustus 2005. BUDAYA
Dibenci Artis tapi Juga Dibutuhkan

JAKARTA - Infotainment, siapa yang tidak mengenal kata ini. Sebuah terminologi yang berasal dari kata information dan entertainment ini telah menjadi bagian kehidupan masyarakat pemirsa teve. Bayangkan, berdasarkan data Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), saat ini terdapat 112 program tayangan berjenis infotainment, dan 68 tabloid yang menyoroti berbagai tingkah polah para selebritis. Meski secara jurnalistik cara kerja awak infotainment sering dikeluhkan para nara sumber, khususnya artis, para artis sangat membutuhkannya. Mereka memang membutuhkan publikasi untuk menjaga atau meningkatkan popularitas di bisnis hiburan. Persoalan itu dikupas dalam "Diskusi Publik; Menyoal Jurnalisme Infotainment" di Kantor KPI, Jl Gajah Mada, Jakarta, Selasa (30/8). Diskusi menghadirkan pembicara Ilham Bintang (Pemred Program dan Tabloid Cek & Ricek), Adhe Armando (KPI), Veven SP Wardana (pengamat media TV) dan Sarah Azhari (artis). Acara yang mendapat sambutan meriah dari pekerja infotainment itu berjalan gayeng. Tengoklah ketika Sarah Azhari yang kerap berseteru dengan pekerja infotainment menumpahkan segala kekesalannya. "Bagaimana mungkin saya menaruh respect dengan para pekerja infotainment jika konfirmasi yang saya berikan hampir selalu berbeda statemennya begitu keluar di layar kaca," kata adik Ayu Azhari itu. Menurut Sarah, yang mengaku sering didiskriminasikan infotainment, pola kerja para awak "gosip" tersebut serampangan. Kemarahan Sarah dimaklumi Adhe Armando dan Veven SP Wardana. Menurut keduanya, para pekerja infotainment, karena tuntutan pekerjaannya, sering menghalalkan segala cara untuk mendapatkan berita dari narasumber. "Memang ada kecenderungan infotainment menjurus pada jurnalisme yang mengintimidasi narasumber," kata Adhe, yang mengaku KPI sering mendapatkan surat keluhan dari masyarakat tentang isi infotainment yang menyajikan perkelahian dan perceraian rumah tangga para artis. Veven juga menyoroti sepak terjang kru infotainment yang cenderung seenaknya menerabas mainstream kode etik jurnalistik, yang biasa diterapkan media cetak yang mapan. "Menggedor-gedor mobil narasumber, mengumpat, mencuri visualisasi dan pernyataan narasumber, sama saja maknanya dengan mencundangi atau memantati kode etik jurnalistik." Otoritas Kebablasan. Pekerja infotainment telah diakui sebagai wartawan oleh PWI pada 2004. Namun, mereka sebenarnya pekerja untuk production house (rumah produksi) yang badan hukumnya bukanlah media pers, sehingga keberadaan mereka dipertanyakan. "Kami menyadari itu, mereka memang dinilai sering tidak menangkap secara jernih substansi persoalan. Mereka lebih sering mendahulukan sensasi," tutur Ilham Bintang. Namun, Ilham menambahkan, jika narasumber atau artis merasa dirugikan dengan pola kerja infotaiment bisa langsung mengadukannya secara hukum. Ilham juga mengingatkan para awak infotainment agar tidak melulu menggunakan UU Pers No 40 Tahun 1999 dalam proses peliputannya untuk menakut-nakuti narasumber yang menghalangi kerja jurnalistiknya. "Terkadang sebagai wartawan, otoritas awak infotainment kebablasan," kata Ilham sembari menyontohkan sebuah narasi infotainment yang memojokkan pasangan selebritis yang menikah diam-diam. "Apa otoritas wartawan infotainmnet sehingga bisa seenaknya harus mengetahui semua perkawinan para selibritis?" tanya dia. Menurut dia, ironisnya malapraktek yang kerap dilakukan pekerja infotainment dalam tugasnya justru mendapatkan tanggapan pemirsa yang paling tinggi. Hal ini terlihat dengan rating infotainment yang cukup besar. Malah lebih besar dibandingkan dengan program news televisi. "Dalam dunia televisi, penonton yang banyak berarti sebuah acara memiliki nilai ekonomi yang cukup bagus," kata Ilham.(G20-43)

Tidak ada komentar: