Sabtu, 16 Februari 2008

Seni rupa Semarang

Sabtu, 15 Oktober 2005. BUDAYA
Pameran Lukisan di TIM Jakarta
Karya Universal 11 Perupa Semarang

BUKU Art In ''Kota Seni Rupa Modern'' terbitan Cornell University Press hanya mengakui Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Ubud (Bali) sebagai pusat seni rupa di Indonesia. Namun, Semarang kota kelahiran pelukis Raden Saleh ternyata telah menancapkan jatidiri dalam bidang seni rupa. Demikianlah nukilan tulisan Bambang Bujono, sebagai pengantar pameran 11 perupa Semarang di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, yang dibuka Jumat (14/10) malam. Pameran yang akan berlangsung hingga 27 Oktober ini menampilkan karya-karya Putut Wahyu Widodo, Kokok HS, Kokoh Nugroho, Irfan ''Ipang'' Kristiyanto, Harmanto, Doel Ahmad Besari, Djoned Koesoemadi, Deny Pribadi, Agung Yuliansyah, Atiek Krisna Sarutomo, dan Achmad Basuki. Menurut Bambu, demikian Bambang Bujono biasa disapa, kegiatan itu mengulang peristiwa 17 tahun lalu. ''Kala itu, tahun 1988, Nindityo, AS Kurniawan, Eddie Hara, Kuncoro Warsono dan dua teman mereka memromosikan Semarang dalam pameran lukisan Ekpresi Enam Semarang, yang juga digelar di TIM,'' katanya. Bambu menambahkan, antusiasme masyarakat Semarang ketika mengapresiasi Pameran Pelukis Rakyat dari Yogyakarta yang berlangsung 15-26 April 1955 di Toko Buku Kolf, Jalan Bojong (kini Jalan Pemuda) sangat tinggi.
Lalu, apa yang kurang dari Semarang, sehingga belum tercatat sebagai ''Kota Seni Rupa Modern?''. Pertanyan inilah yang hendak dijawab 11 perupa Semarang ketika menggelar Pameran Lukisan Ekpresi Garis Tepi Semarang di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta. Kosmopolit.
Pameran yang digagas oleh Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini paling tidak, menurut Chandra Johan, sebagai Ketua Komite Seni Rupa, bertujuan merubuhkan stigma kedaerahan. ''Karena karya-karya dari perupa Semarang pada dasarnya cukup kosmopolit, dan tidak menampilkan (warna) kedaerahan. Inilah yang luar biasa,'' katanya. Tengoklah karya Putut Wahyu Widodo, Pemenang I Lomba Poster Nasional Perdamaian, Limpad Foundation (2000), dan peraih 10 Besar Kompetisi Seni Rupa IAA-Philip Morris 2003 ini, memajang enam karya terkininya yang diproduksi tahun 2004-2005. Karyanya yang berjudul ''Om Guru 2'', ''Just Om'', ''Over Mind'', ''Ya Begitulah Adanya'', ''Manna'', dan ''Equinox'' sangat universal. Karya-karya itu dikreasi dari bahan akrilik dan pastel di atas kanvas, rata-rata berukuran 135 cm x 135 cm. ''Dalam bahasa sederhana, karya Putut bahkan beyond cosmopolit,'' kata Grace, pemilik dan pengelola Galeri Elcanna Jakarta. Demikian halnya karya Kokok HS. Nominator Kompetisi Seni Rupa IAA-Philip Morris V (1995) ini menghadirkan ''Barong Duri'', ''Raja Barong'', ''Ratu Barong'', dan ''Dekora Barong'' dalam pendekatan surealis. Lalu, perupa Harmanto, finalis Indofood Art Award (2003), memajang ''Intelectual Harazement'', dengan nuansa yang ultimate pop culture. Memang, keberadaan 11 perupa Semarang di sentra kebudayaan Jakarta itu terlalu prematur jika dikatakan hendak menempatkan Semarang dalam peta seni rupa Indonesia. Namun, paling tidak, meminjam bahasa Chris Darmawan, pemilik Galeri Semarang, langkah mereka diharapkan mampu merangsang perupa Semarang untuk berani ''keluar'' . (Benny Benke-43)

Tidak ada komentar: