Jumat, 21 Maret 2008

Qaisra Shahraz,

Selasa, 10 Oktober 2006. BUDAYA
Diskusi Novel "Perempuan Suci"
Upaya Memahami Perempuan Islam

JAKARTA-Seperti apakah perempuan Islam dalam ranah kebudayaan Pakistan memaknai penderitaan yang ditimpakan padanya? Diskusi novel The Holy Woman karya novelis Inggris asal Pakistan, Qaisra Shahraz, menjelaskannya dengan apik. Novel yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan dengan judul Perempuan Suci itu didedah oleh penulisnya langsung di Galeri Ibuku Kunstkamera, Jl Veteran I/26 Jakarta, kemarin. Novel yang telah memenangi Golden Jubilee Award 2002 itu di mata kreatornya adalah tampikan secara halus kepada dunia internasional ketika memandang perempuan Islam dalam perspektif yang tidak tepat. Menurut Shahraz yang belum lama ini mengikuti Ubud Writer and Reader Festival di Ubud, Bali, Perempuan Suci mengambil latar belakang kultur masyarakat Pakistan yang taat menjalankan hukum Islam. Ketaatan atas nama bakti kepada orang tua yang dikisahkan penulis lulusan Manchester University itu, tidak diuraikan sebagai tragedi atau ironi yang berujung penderitaan. Sebaliknya, ketaatan justru menuntun pelakonnya menemui sebuah pencerahan. ''The Holy Woman menuntun pembacanya untuk memahami perempuan Islam dan pergulatan batinnya dalam memahami kesucian atas dirinya,'' katanya. Pergulatan batin yang penuh perjuangan melawan penderitaan inilah yang dinarasikan dengan bahasa yang sederhana namun mengena oleh Qaisra Shahraz. Burqa. The Holy Woman secara singkat berkisah tentang Zarri Bano, seorang perempuan Pakistan yang dihadapkan pada pilihan sulit dalam hidupnya. Sejak adik laki-lakinya meninggal karena sebuah kecelakaan berkuda, ia "dipaksa" menjadi putri mahkota keluarga besarnya. Dengan konsekuensi meninggalkan kehidupan cinta bersama kekasihnya, Sikander, Bano pun menjadi seorang shahzadi ibadat atau perempuan suci. Dia mengurungkan dirinya ke dalam pakaian burqa dan hanya menyisakan liang kecil untuk matanya saja. Tidak hanya harus menghindari lelaki yang bukan muhrimnya, dia juga menjadi suci secara harfiah, yaitu melupakan keinginannya untuk menikah. Tradisi shahzadi ibadat yang masih menjadi kontroversi itulah yang menjadi polemik menarik dalam novel ini. (Benny Benke-45)

Tidak ada komentar: