Jumat, 21 Maret 2008

World Trade Center (WTC)

Rabu, 18 Oktober 2006 . BUDAYA
Kisah di Balik Reruntuk WTC
APA yang dapat membuat seseorang bertahan hidup lebih dari 24 jam, meski tertindih tembok dan puing besi dari sebuah bangunan pencakar langit bernama World Trade Center? Dalam film World Trade Center (WTC) besutan Oliver Stone, kisah kemanusian dua orang polisi Port Authority Police Department (PAPD) yang selamat dari tragedi 11 September dikisahkan dengan mengharukan. Stone yang dengan jitu berhasil membidik tragedi kekalahan Amerika Serikat dalam perang Vietnam lewat film Platoon kembali menghadirkan warna lain dari sudut pandangnya perihal tragedi di menara kembar di New York tersebut. Lewat pendekatan human story, Stone menyingkirkan jauh-jauh keberpihakan politisnya dan memilih berpihak pada kisah kemanusiaan dua polisi PAPD dalam mempertahankan hidup. Inti cerita dari film yang beranjak dari kisah nyata, dari korban yang selamat dari tragedi yang kemudian dikenang sebagai peristiwa Black September itu, sejatinya sederhana. Yakni kisah heroik tentang sebuah daya proses penyelamatan dua anggota PAPD John McLoughlin (Nicolas Cage) dan Will Jimeno (Michael Pena). Keduanya terperangkap di bawah reruntuk gedung WTC pada 11 September 2001 ketika melakukan proses penyelamatan. Menunggu Bantuan . Kisah tentang aktivitas John dan Will selama terperangkap selama 24 jam di bawah reruntuk WTC itu lah yang dikisahkan dengan nanar oleh Stone. Dengan saling berbicara tentang apa saja mulai dari topik keluarga, anak, harapan, kekecewaan, dan cinta sejati, kedua sejawat itu berusaha melupakan apa yang sebenarnya terjadi sembari menungu bantuan tiba. Sementara itu, kisah sedih tentang para istri yang tidak mendapatkan kabar pasti dari suami mereka tercinta dinarasikan tak kalah mirisnya. Donna McLoughin, istri John, dan Allison Jimeno, istri Will, beserta anak-anak dan keluarga besar mereka digambarkan dengan pilu. Sementara ribuan orang yang anggota keluarganya bekerja di salah satu gedung pencakar langit di Manhattan, New York, itu juga dikisahkan menunggu ketidakpastian. Seluruh penduduk di seantero belahan dunia, dari Eropa Barat ke Eropa Timur, dari Eropa Utara ke Eropa Selatan, Afrika hingga Asia juga digambarkan terhenyak mendengar kabar tragis tersebut. Tragedi memang tak mengenal batas suku, agama, ras, antargolongan, atau batas demografi. Stone, setelah menghentak lewat Alexander, kali ini bekerja sama dengan penulis skenario Andrea Berloff, menghadirkan kisah robohnya WTC dalam sebuah versi yang lain. Kisah yang mengharu-biru tentang keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan. (Benny Benke-45)

Tidak ada komentar: