Sabtu, 09 Februari 2008

Teater Mandiri, Zoom

Jumat, 21 Mei 2004. BUDAYA

Imaji Visual Teater Mandiri

LAYAR raksasa dengan lebar lebih dari 10 meter dan tinggi 8 meter berwarna putih itu membentang menutupi keseluruhan panggung pertunjukan. Hanya dua bulatan raksasa (yang sepertinya melambangkan bola dunia) dari kertas koran yang menggantung di kanan dan kiri panggung menjadi satu-satunya setting. Ketika lampu-lampu neon mulai dimatikan, penonton yang tidak begitu memadati gedung pertunjukan Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, terdiam. Dalam hitungan detik, pentas lakon Zoom yang digelar oleh Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya itu langsung mengentak. Mengentak? Bahkan lebih tepatnya mengagetkan penonton sepanjang lebih kurang 60 menit pertunjukan. Ya, sebagaimana metode pengantaran lakon Teater Mandiri Zero yang kali terakhir pernah dipentaskan di Teater Utan Kayu Jakarta beberapa waktu lalu. Zoom yang pernah juga dipentaskan di Tokyo, Kyoto, dan Hong Kong itu masih mengandalkan kekuatan visual pemanggungan. Pentas menggunakan teknik pencahayaan lampu yang ditembakkan dari balik dan depan panggung serta puluhan gambar slide yang dipantulkan ke layar yang juga berfungsi layaknya kelir dalam pewayangan. Zoom yang didukung 60 pemain plus 14 pemain anak-anak itu mulai meneror penonton. Kekuatan teror itu semakin akut dengan dukungan musik Harry Roesli dan DKSB yang nyaris menderu-deru sepanjang pentas perdana mereka di Jakarta, Jumat (14/5) dan Sabtu (15/5) lalu. Simaklah ketika ke-60 pemain itu tumplek bleg di balik layar dan berusaha menggapai-gapai ke-14 pemain anak-anak yang berada di depan layar. Sementara itu, Putu Wijaya yang mengenakan busana khas Bali dengan pecut di tangan memekik-mekik tak keruan. Yang terjadi di atas panggung pun riuh rendah teriakan anak-anak yang dramatis dengan pencahayaan minim yang menimbulkan efek bayang-bayang yang ditingkahi dengan berbagai gambar dari slide di balik layar plus musik yang memekakkan telinga.


Lakon Improvisasi

Secara penceritaan, Zoom bernarasi mengenai sebuah esai visual soal perang dan permusuhan yang tidak henti-hentinya yang dilakukan manusia dengan dalih menegakkan perdamaian, keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Lakon ini tidak sebagaimana hukum dramaturgi konvensional, tidak menganut mana tokoh antagonis, mana protagonis. ''Bahkan dalam pementasan ini, ke-14 pemain inti kami musti berkolaborasi dengan pemain lain yang baru melakukan workshop dengan kami,'' jelas Putu Wijaya seusai pertunjukan. ''Jadi konsekuensinya, para pemain inti mesti siap kehilangan peran atau adegan di atas panggung karena terebut oleh pemain lain,'' ujar salah seorang dramawan terkemuka Indonesia itu. Memang dengan tidak mengeplot detail pengadeganan dan pencahayaan, lakon Zoom ini sengaja tidak hanya untuk meneror penontonnya. ''Para pemain inti pun di atas panggung terteror dengan banyaknya pemain lainnya yang menggangu atau malah merebut adegan mereka,'' katanya lagi sembari menerangkan, pada mulanya para pemain merasa terganggu dengan konsep awal yang digagasnya. Dan, demikianlah yang terjadi di atas panggung, para pemain keluar masuk ''tertelan'' layar, saling tindih, bergelimpangan. Kali lain saling sunggi, menjatuhkan diri sembari terkadang memperagakan adegan perang dan tentu saja sambil berpekik saut-menyaut. Sungguh, pentas yang digagas dalam rangka memperingati ulang tahun ke-33 Teater Mandiri dan ke-60 Putu Wijaya, itu minim dialog. Hal itu menjadikannya lebih memungkinkan untuk diapresiasi tanpa kendala bahasa yang berarti oleh masyarakat berbahasa mana pun. Meski dengan konskuensi, penonton dibuat tercekat atau lebih tepatnya terkaget-kaget dengan teror adegan dan musik yang ingar-bingar sepanjang pertunjukan. (Benny Benke-81j)

Tidak ada komentar: