Sabtu, 09 Februari 2008

Romo Mudji 3

Bincang Bincang. Minggu, 14 Desember 2003

Mudji Sutrisno
Rakyat Ingin Bernostalgia dengan Rezim Lama

PEMILU 2004 bakal dikepung oleh kekuatan Orde Baru? Pertanyaan semacam itu layak dilontarkan kepada Prof Dr FX Mudji Sutrisno yang selain aktif mengamati kondisi sosial politik Indonesia juga pernah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tak mudah bercakap-cakap dengan rohaniwan yang kelewat sibuk itu. Namun, syukurlah, sehari menjelang keberangkatan ke Yunani dalam rangka mengikuti YunanIndonesia Ar(t)chipelago -ajang olimpiade kebudayaan- di Athena dan Corfu, pada pagi yang masih menyisakan dingin, budayawan dari ''kesunyian katedral'' itu bersedia berbincang-bincang dengan Suara Merdeka di Johar Baru, Rawasari, Jakarta. Berikut petikannya.


Pemilu 2004 bakal dikepung oleh kekuatan Orde Baru. Benarkah?


Dipandang dari sudut pemerintahan, sejak 1998, Orde Baru yang dilengserkan sebenarnya hanya Soeharto. Seluruh watak pengelolaan kekuasaan, sistem, dan orang-orangnya nggak ada satu pun yang dilengserkan. Jadi, watak Orde Baru jalan terus. Karena hanya Soeharto yang dilengserkan dan pemerintahan yang baru hasil Pemilu 1998 -Gus Dur dan Mega- tidak berhasil berkonsolodasi, muncullah kesangsian-kesangsian. Pertama, ada yang mengatakan reformasi sesungguhnya jalan di tempat.


Yang kedua, orang baru sadar, betapa yang dibutuhkan rakyat hanya soal keamanan dan perut yang terisi dengan baik. Rezim yang sekarang dan sebelumnya tidak berhasil dalam dua soal itu. Karena itu, nuansa nostalgia atau keinginan kembali ke rezim yang lalu sangat terasa di kalangan rakyat. Dalam pandangan mereka, kecukupan itu dipenuhi oleh rezim lama. Kalau kita lihat dalam lapis ekonomi, selama 32 tahun Soeharto berkuasa, secara de facto masyarakat mendapatkan rasa aman meski semu. Ekonominya pun tercukupi. Jadi, krisis yang menimpa kita pada 1997 sebenarnya hanya menimpa yang makro. Rakyat biasa belum merasa betul-betul terkenai krisis.


Mereka baru menyadari krisis itu setelah utang, KKN, dan korupsi terjadi. Dan tragisnya bagi rezim Megawati, rakyat baru menyadari sekarang. Dengan kata lain, baru sekarang rakyat mengalami situasi yang berat itu. Akibatnya, rakyat ingin bernostalgia dengan rezim lama. Ini analog dengan zaman ketika secara resmi Indonesia baru merdeka pada 1949. Selama masa transisi -1945 hingga 1949- rakyat lebih merindukan kembali ke suasana normal saat dijajah Belanda. Analogi dari rakyat kecil inilah yang tidak dibaca oleh para pemimpin reformasi. Inilah kegagalan para pemimpin yang tidak mampu membaca kebutuhan rakyat. Rakyat hanya mengingikan rasa aman dan kebutuhan ekonomi tercukupi. Hal semacam itu sebenarnya sudah diberikan Soeharto pada 1965. Rakyat lebih dulu diberi makan, meski tak ada kebebasan. Kebutuhan utama itu kan fisik. Setelah itu baru kebebasan. Bagaimana bisa bebas kalau kebutuhan perut tidak beres?


Lalu partai-partai apa saja yang ditengarai membawa kepentingan Orde Baru?


Sebenarnya 24 partai yang ada sekarang terbagi dalam tiga indikasi. Pertama, semakin menipisnya motivasi ideologis, dalam arti agamais. Yang Islam makin kecil. Katolik hampir tidak ada yang masuk. Kristen diwakili Partai Damai Sejahtera. Lalu yang ideologinya Pancasila atau nasionalis kebangsaan tetap ajek. Yang berideologi kemananusiaan atau demokratisasi juga belum beranjak. Jadi secara ideologis, yang agamais mengecil, Pancasilais tetap. Jika dipandang dari model penawaran kesejahteraan, sesungguhnya kita set back. Kenapa? Karena yang dipamerkan justru KKN. Semua perundangan yang dipakai hanya untuk memperkaya diri. Karena itu, rakyat muak pada tokoh-tokoh politik. Fenomena yang ketiga, secara kultural, sebenarnya tidak terjadi pendidikan politik, baik oleh parpol yang berafiliasi dengan kekuatan Orde Baru maupun parpol seperti PDI-P atau Golkar baru. Rakyat pun akhirnya bingung.


Jadi, apakah partai Orde Baru itu kembali? Jangan lupa, dalam politik praktis, partai-partai reformis yang ada dan mengatasnamankan dirinya reformis ini sebenarnya miskin pengalaman. Yang canggih berpolitik di lapangan adalah partai-partai Orde Baru. Anda bisa melihat pada 1998 mereka semua tiarap dan masuk ke semua partai. Mereka masuk lewat jalur keorganisasian yang tidak (terkena) krisis. Yaitu tentara atau jenderal-jenderal yang dibesarkan oleh Soeharto. Kini mereka membentuk partai formal dan konkret semacam partai Pak Hartono, Partai Karya Peduli Bangsa. Dua hal yang bisa dilihat di sini, dalam penyebaran ide, mereka hampir menguasai semua media massa dan televisi. Caranya meluncurkan, menimbulkan banyak pertanyaan sehingga membuat pers memburu, termasuk mengejar Tutut. Ini sebuah berita yang menarik kan?


Di balik proses ini, secara politik PDI-P masih teramat muda. Mereka pubertas terhadap kekuasaan, kursi, dan uang. Sebaliknya, partai-partai yang berafiliasi dengan Orde Baru cenderung matang dalam bergerilya politik. Yang menarik, kajian-kajian analisis intelektual dari para ahli, termasuk dari luar negeri, mengenai proses demokratisasi di Indonesia akan luput semua. Karena apa? Agen perubahan kan ada tiga, yaitu agency, masyarakat atau tokoh, dan sistem atau rasionalitas politik di Indonesia. Sayang semua salah urus. Kita ini cuma jadi generasi last minute, generasi kebut semalam. Itulah yang saya lihat dalam pemilu kali ini. Persiapannya serba tergesa-gesa. Semua asal jadi.


Apakah ini merupakan wujud dari kematian Orde Reformasi?


Orde Reformasi sudah terpencar-pencar dan tidak mampu. Ibaratnya, pada 1998 kekuatan mahasiswa sudah mampu merobohkan rumah. Namun mereka tidak siap mendirikan rumah (baru). Dasarnya juga tidak diubah dan orang-orang yang diharapkan dapat membangun rumah itu tidak disiapkan. Maka ketika rumah tak segera dibangun, pembangun-pembangun lama dari Orde Baru datang lagi. Buat saya Orde Reformasi mati suri. Platform partai-partai yang ada sekarang apakah cenderung senada atau malah saling bertentangan? Indonesia masih butuh empat sampai lima kali pemilu. Berarti butuh satu generasi. Meski demikian ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, mesti ada pendidikan politik, yaitu politik kesejahteraan. Artinya semua terlibat untuk memikirkan kesejahteraan. Dengan harapan rumah baru ini dapat kita diami dengan segala pluralitas. Jadi tidak dikaveling dengan perundangan-undangan menurut agama tertentu. Ibarat musik ya ''Simponi Indonesia'' yang tidak dimonopoli oleh sebuah alat musik.


Kedua, mesti ada agenda-agenda perubahan. Kalau kemarin ada tujuh agenda reformasi, sekarang yang paling pokok berantas KKN. Karena kalau itu tidak dibereskan, rezim mana pun tidak akan mendapat kepercayaan. Sekarang diperparah oleh ketidakpercayaan antarkita yang semakin akut. Tidak ada trust rakyat kepada penguasa. Karena rakyat hanya percaya kepada dirinya sendiri, terjadilah anarkisme sekaligus bersamaan dengan krisis ekonomi serta tidak ada lapangan kerja. Rezim Mega tidak menjawab problem pengangguran yang tahun depan mencapai 40 juta! Rezim ini tidak juga menjawab soal pemberantasan KKN.


Bagaimana dengan kemunculan partai yang tidak terpuaskan oleh partai induk. Tidak suka PDI-P kemudian membuat partai bergaya marhaenisme. Tidak suka Golkar, membuat partai lain? Apakah mereka hanya berfungsi sebagai penggembos?


Pertanyaanya adalah mengapa muncul banyak partai begitu Soeharto diturunkan? Pertama, ada gejala dis-trust, karena kita paling tidak belajar mengenai perbedaan pendapat. Politik itu kan sebuah konsensus, wacana, dan dialog yang harus merelakan sebagian kepentingan untuk kepentingan bersama. Jadi, politik di Indonesia ini teramat sangat sarat kepentingan. Kalau kepentingan saya tidak sama dengan kepentingan Anda, saya akan membuat partai politik. Yang kedua, orang mengira partai politik adalah sebuah panggung, performance ekspresi aktualisasi dari masing-masing kepentingan ego atau kelompok. Anda bisa lihat perpecahan pun ada di mana-mana. Mulai dari perkumpulan lawak, perguruan tinggi, seniman, gereja, sampai pesantren. Artinya apa? Tenggang rasa untuk menghormati perbedaan sama sekali tidak ada.


Apakah hal ini juga terjadi di dunia Barat?


Mereka masih bisa tertolong karena masih ada pendidikan politik. Pendidikan politik dengan perbedaan multikulturalismenya masuk ke Indonesia hanya sebagi snob. Kita ikut modenya, hanya mengambil bajunya, retorika, dan festivalnya, tetapi tidak intinya. Lihatlah pada tiga anak Soekarno. Rakyat biasa pun bisa menilai. Ahli politik dari mana yang dapat menjelaskan fenomena ini? Kalau dulu Soekarno sebagai founding father menyatukan nasionalis, agamis, dan sosialis, kini anak-anaknya malah memberikan contoh bahwa di keluarga pun mereka tidak dapat menjadi satu. Perpecahan itu malah dibawa ke tingkat nasional. Dari sini bisa dilihat, sebenarnya yang mereka perjuangkan hanya kepentingan masing-masing. Inilah mengapa kita masih butuh satu generasi lagi agar kita dapat menghargai politik perbedaan dengan value atau nilai yang menyatakan betapa setiap hidup bersama harus disertai toleransi terhadap perbedaan. Saya berharap tujuan kepentingan bersama menjadi hukum yang tertinggi, suprema lex. Yang terjadi di Indonesia, semua orang mencurangi kepentingan bersama demi kepentingan sendiri-sendiri.


Sebenarnya realitas politik yang ada di Indonesia, jika dilihat sejak zaman kolonial atau kerajaan, partai politik yang ada sekarang adalah metamorfosis sesuatu yang ada pada zaman dulu. Mereka semua feodalistik dan memperjuangkan kepentingan sendiri. Kalau dulu raja terhadap bawahan, sekarang partai politik pada perangkat atau birokrasinya. Mereka hanya ingat pada rakyat saat pemilu.


Melihat fenomena yang sangat memprihatinkan ini, apakah ada partai yang ideal untuk kondisi Indonesia sekarang?


Idealnya partai politik menjadi tempat pendidikan politik, tempat yang memungkinkan rotasi kepempimpinan senantiasa berganti, supaya kemajemukan terakomodasi. Pada model arisan yang tidak demokratis saja terjadi rotasi siapa yang dapat arisan berikutnya. Nah, kenyataannya, partai politik mereka ambil sebagai kendaraan untuk berkuasa. Kalau perlu dengan KKN. Partai politik dengan model ini tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, tetapi pada pemberi kekuasaan. Dulu sebenarnya partai model seperti ini pernah berhasil pada waktu awal kemerdekaan, ketika Soekarno membuat PNI dengan basis massa. Hatta dan Sjahrir membuat PNI dengan basis kader. Kenapa berhasil? Karena mereka memperjuangkan kepentingan bersama. Namun begitu dibuat Golkar, terjadi refeodalisasi dan repaternalisai dari nilai kekeluargaan yang disatukan sebagai kendaraan, kursi, kekuasaan, dan kepentingan.


Apakah dari 24 partai yang ada sekarang tidak ada sama sekali yang mirip dengan PNI pada massa awal kemerdekaan itu?


Tidak ada sama sekali! Meski model itu dicoba dalam tiga partai: partainya Ryass Rasid, PIB (Partai Indonesia Baru)-nya Sjahrir, dan PNBK (Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan)-nya Eros Djarot. Tiga partai ini sebenarnya mencoba mengombinasi antara elitisme partai sosialisme model Sjahrir, kaderisasi dalam PIB, partai massanya model Bung Karno yang menyuarakan suara rakyat, yaitu PNBK. Tetapi apakah mereka akan berhasil? Sejarah yang akan membuktikan proses mereka.


Dalam sebuah diskusi Anda pernah mengutarakan pentingnya kesalehan spiritual? Bisa dijelaskan lebih lanjut?


Setiap putusan politik sebaiknya senantiasa diimbangi oleh kaidah baik buruk untuk komunitas bersama. Hatta menjadi simbol asketisme politik atau moralitas politik. Ini dihayatinya ketika ia menunda untuk menikah sebelum bangsa ini merdeka. Ini artinya ia menghayati sebuah politik demi merdekanya bangsa ini. Yang tidak ada sekarang adalah asketisme itu. (Benny Benke-72c)

Tidak ada komentar: