Sabtu, 09 Februari 2008

Romo Mudji (Bincang Bincang)

Bincang Bincang. Minggu, 14 Desember 2003

Romo Funky yang Memayu Hayuning Bawana

KESEDERHANAAN dan kebersahajaan teramat lekat dengan laki-laki kelahiran Surakarta, 12 Agustus 1954 ini. Franciscus Xaverius Mudji Sutrisno memang tumbuh di lingkungan guru. Pada masa kecil dia terpana pada pada seorang Romo. Dalam pandangan dia, seorang Romo dapat ''masuk'' dan bersaudara dengan segala lapisan masyarakat sembari menularkan ilmunya. Kini, jangan pernah meragukan kredibilitas Guru Besar Bidang Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini dalam dunia pendidikan. ''Saya pernah mengajar dari anak TK (Taman Kanak-Kanak), SD, SMP, SMU hingga perguruan tinggi.'' Apa yang dia ampu? ''Saya mengampu pelajaran menggambar di TK dan SD. Di banyak kesempatan saya kerap bertemu bekas murid TK yang sudah jadi. Saya sudah lupa pada paras mereka. Mereka yang biasanya mengingatkan...,'' kenang dia. Pada suatu hari, penulis puluhan buku yang meyakini ide itu ''berkaki'' ini memang memutuskan masuk ke Sekolah Seminari. Dia kemudian mengasah kemampuan berfilsafat dan teologi di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, pada 1977. Akhirnya dia menajamkan pendidikan S2 dan S3 di bidang Filsafat di Universitas Gregoriana Roma, pada 1980 dan 1987. Berhenti sampai di situ? Belum. Pada 1990 Romo funky ini juga merampungkan Summer Course Religion & Art di Ichigaya Sophia University of Tokyo, Jepang.

Seperti Air

Dan kecintaan serta pengabdiannya pada dunia pendidikan semakin dibuktikan dengan memilih mundur dari anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) beberapa waktu lalu. ''Dunia pendidikan kita sedang krisis, bukan karena sistemnya saja. Pendidikan di Indonesia menjadi juga jadi ajang rebutan politik aliran kepentingan,'' katanya sembari mengkritik para politikus yang terus saja ber- STMJ. STMJ bukan minuman enak melainkan kependendekan dari Sembahyang Terus, Maksiat Jalan. Meneguhi bahwa ilmu itu seperti air, pendiri Persatuan Sepak Bola Anak Guru berkeyakinan ilmu dapat menghilangkan rasa haus orang lain. ''Kalau Anda berikan air itu kepada orang yang haus pasti menyegarkan. Demikian pula air yang ada di gunung-gunung pasti menghijaukan semua. Jadi tidak ada ilmu yang Anda berikan akan muspra,'' katanya. Pengagum Romo Mangunwijaya dan Soedjatmoko ini juga menjunjung tinggi mantan guru-gurunya di SD Pangudi Luhur Surakarta. ''Mereka kalau menghukum itu memberikan kertas dan pensil berwarna, sehingga kita bisa melukis. Apakah ada guru sekarang yang menerapkan itu? Bahkan dalam ilmu bumi kami sengaja diarak, ke museum, ke Radya Pustaka. Jadi, ilmu buminya tidak hafalan. Bahkan senam pun diiiringi gamelan.'' Dia menambahkan dalam pendidikan yang paling utama adalah rasa dan religiusitas yang tidak fanatik. ''Mesti humanis,'' tandas dia. Sebagai pengajar Moralitas Etika di Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi pada Universitas Indonesia, Romo Mudji menekankan pendidikan harus memahami betul rasa dan kejiwaan siswa dari TK hingga Perguruan Tinggi. Dan sebagai konfirmasi terhadap 18 tahun masa pengabdiannya pada dunia pendidikan gelar Profesor telah diterima. ''Pendidikan itu semestinya memayu hayuning bawana; memperindah realitas. Dengan demikian nilai humanisi dalam pendidikan akan mampu mengubah makna homo homini lupus menjadi homo homini socius,'' (Benny Benke-72)

Tidak ada komentar: