Sabtu, 09 Februari 2008

tonil Klosed

Sabtu, 9 November 2002 . Budaya

Meledek Negeri dengan Payung

PAYUNG-payung hitam itu melenting-lenting, merekah, dan lalu mengembang. Empat orang bergerak ke sana-sini, mengejar payung-payung, menyambutnya jatuh setelah dilemparkan, dan kemudian menolakkannya kembali ke atas. Dalam gerakan yang lain, keempat aktor (Gempil, Suprex, Tri Komando, dan Lawu) berdiri berbanjar layaknya serdadu dengan payung terkatup, sebagai simbol atas senapan. Tak lama kemudian, sebuah peragaan disharmoni kesatuan tentara muncul di panggung dengan cahaya redup. Empat payung itu, berhasil dieksplorasi dalam banyak tanda, bentuk, dan peristiwa (politik) oleh empat pemain kelompok tonil Klosed (Kloarga Sedjahtera). Ada perebutan kekuasaan, beda pendapat, dan ada juga upaya menciptakan hegemoni. Pada kekhidmatan yang lain, seketika payung-payung itu menjelma menjadi sederetan bendera pusaka; merah putih, yang dengan seksama dikibarkan dengan iringan ''Indonesia Raya'' dalam versi yang sangat berbeda. Ya, itulah sedikit dari kekayaan olah gerak lakon LapLip, yang Jumat (1/11) malam lalu dipentaskan Klosed pimpinan Sosiawan Leak di Unika Soegijapranata Semarang. LapLip (byak-tup dalam permainan umbul), adalah teater berkonsep mini kata. Sepanjang satu setengah jam, penonton hanya disuguhi mini dialog yang itu-itu saja, seperti ''sutradara'', ''presiden'', dan ''lubangnya''. Namun, itulah salah satu kecerdasan Leak yang juga penyair selaku sutradara. Lewat kata yang hanya ''itu-itu saja'', ia berhasil menuntun penonton ke arah pemahaman. Leak berhasil menumbuhkan imajinasi penontonnya untuk membuat ''percakapan'' sendiri. Lewat LapLip, agaknya Leak tidak hanya ingin menyajikan kekinian sosok negeri ini dari wajah penyok intrik perebutan kekuasanya saja, melainkan juga segala aspek kebobrokan moral pelakunya. Sebelum penampilan Klosed, beberapa teater kampus menggelar performance art. Mereka adalah Kapling Stiba Aki, Gema IKIP PGRI, Emka Fakultas Sastra Undip, dan Themis Fakultas Hukum Undip Semarang. Masing-masing mengusung perihal silang-sengkarut kondisi politik berikut imbasnya: rasa sepi dan negeri yang bobrok. Sayang, meski berangkat dengan semangat berteater yang membara, hampir semua penampil tidak menyertakan konsep penggarapan repertoar yang terpola. (Benny Benke-41)

Tidak ada komentar: