Sabtu, 09 Februari 2008

Arok Van Dorf

Rabu, 30 Oktober 2002 . Budaya

PERNIK
Arok Van Dorf
Oleh Ganug Nugroho Adi

SUATU petang, beberapa bulan lalu, di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Joglo Undip Jl Imam Bardjo Semarang, seorang kawan yang sudah lama tak saya lihat muncul. Ia menyodorkan askah tipis: Arok. Namanya Benny Benke, alumnus Fakultas Sastra Undip. Membaca judul naskah itu, saya segera ingat novel Arok-Dedes karya Pramudya Ananta Toer. Saya juga ingat cacatan kecil yang ditulis oleh Joesoef Isak, editor novel itu: Kisah Arok-Dedes adalah kisah kudeta pertama dalam sejarah kita. Kudeta unik ala Jawa; penuh rekayasa kelicikan, dan lempar batu sembunyi tangan. Maka, masih menurut catatan Joesoef, epos dengan setting peristiwa abad Ke-13 itu akan membawa penafsiran pembaca menuju abad Ke-20, masa ketika terjadi "peralihan kekuasan" dari Soekarno kepada Soeharto dengan pemberontakan 1965 (G30S/PKI) sebagai tanda. Tapi, lakon Arok tulisan Benny kali ini ternyata lain. Lewat naskah itu, ia sama sekali keluar jauh dari Pram, dan justru menciptakan penafsiran-penafsiran baru. "Tidak ada sejarah dengan kebenaran mutlak. Bagi saya, sejarah adalah bagaimana para pemenang menafsirkannya," sindir Benny terhadap kondisi kesejarahan di Tanah Air. Dan karena bukan pemenang -setidaknya ia bukan partisan (parpol) atau bagian dari sesuatu yang sedang berkuasa-, Benny bisa mengambil garis demarkasi yang jelas. Di tangan mantan aktivis pergerakan mahasiswa itu, Arok menjadi sebuah fragmen yang getir seputar tiga tokoh besar sejarah Singasari: Arok, Ametung, dan Dedes. Tak ada Kebo Ijo yang kegirangan memperoleh keris baru; juga tak ada Mpu Gandring yang terkapar dengan keris di tertancap di dada. Panggung adalah percakapan tentang cinta, kesangsian, hakikat manusia, dan juga sepi pada akhirnya. Saya sebenarnya agak miris menyaksikan pentas itu. Setiap kali menyaksikan (proses latihan) Arok, epos itu selalu mengingatkan saya pada perempuan-perempuan yang tersendat di jalan buntu, tak memiliki banyak pilihan dan ruang; lalu menangis, entah kenapa. Tapi, apa pun, saya akan menyaksikan pentas yang sebenarnya di Gedung Van Dorf yang eksotik itu, Kamis (341/10) malam besok. Saya akan menekan rasa pahit, perih, juga parau. Lagi pula, bagi saya pementasan Arok itu juga menjadi lain karena tempat pertunjukannya adalah Gedung Van Dorf, bekas toko buku di kawasan kota lama. Satu kawasan yang selalu digembor-gemborkan Pemkot Semarang sebagai aset wisata, tapi tak sekali pun terjadi peristiwa kesenian -sebagai salah satu magnet bagi wisatawan- yang mengguncang di teritori tersebut. Maka, ketika Adjie Noegraha (tim artistik) akan memakai gedung yang dibangun zaman Belanda itu untuk pentas, saya segera menangkap warna lain. Dalam tataran ideal, bagaimana pun, pentas Arok adalah upaya revitalisasi bangunan-bangunan di kawasan kota lama Semarang. Sekadar mengingatkan, jangan berpikir Van Dorf adalah gedung tua yang bersih. Ketika kali pertama saya datang ke gedung itu, semua sudut dinding penuh dengan sarang laba-laba, juga debu. Dan Adie Noegraha sebagai penata artistik pementasan Kamis besok, justru akan membiarkan segala "kekotoran" menempel di bangunan tua tersebut. "Eksotisme gedung ini justru terlihat karena suasana misteri yang muncul." Kecuali ruang pementasan, penonton memang akan melewati lorong-lorong (para kru pementasan menyebutnya lorong hantu) dengan tangga memutar yang tua dan rapuh, bau debu, dan lantai kayu yang agak ringkih. Arok yang dipentaskan "Gender Semarang (Komunitas Setengah Tiang)" dalam dua kali pertunjukan, pukul 18.00-19.00 WIB dan 19.30-20.30 WIB, itu mudah-mudahan akan sama eksotiknya dengan Van Dorf.(41)


Ganug Nugroho Adi, wartawan Suara Merdeka di Semarang

Tidak ada komentar: