Sabtu, 09 Februari 2008

Slamet Gundono, Wayang Kampung

Selasa, 11 Maret 2003 . Budaya

Wayang Sampaan Kampung Sebelah: Potret Lingkungan

JANGAN pernah mengharapkan kehadiran tokoh dewa-dewa, ksatria, pendeta, atau punakawan, sekalipun dalam pertunjukan Wayang Kampung Sebelah (WKS) yang dipentaskan oleh sejumlah seniman kreatif dari Surakarta di Pasar Seni Ancol Jakarta, Minggu (9/3) malam lalu, dalam rangka 28 tahun Kenduri Pasar Seni. Jangan heran jika para tokoh wayang itu adalah tokoh-tokoh dari kehidupan masyarakat kampung kebanyakan, seperti preman, tukang becak, tukang pijet, pelacur, hansip, mbok jamu, tukang jahit, wartawan, pak lurah, hingga pak camat yang telah distilasi sedemikian rupa. Bahkan, dalam beberapa adegan muncul sosok wayang Slamet Gundono, yang diplesetkan menjadi Slamet Gundala.

Malah, musik pengiringnya pun tidak sebagaimana dalam pertunjukan wayang konvensional berupa seperangkat gamelan dengan para niyaga dan sindennya. Melainkan diiringi oleh orkes dangdut akustik, yang dimainkan oleh beberapa musikus jebolan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) yang memainkan alat musik seperti; gitar, benjo, seruling, flute, gendang, kecapi, dan biola, yang sekaligus bernyanyi layaknya sinden.

Demikian juga dengan tampilan kelir yang dikitari dengan aneka sayur mayur, seperti kacang panjang, terong, labu, wortel, kangkung, pare, lombok, dan sejenisnya. Semua properti itu, semakin menambah lengkap suasana kampung. Ya, pentas Wayang Kampung Sebelah itu pun tidak mengambil basis cerita dari lakon pewayangan Ramayana atau Mahabaratha yang penuh dengan kurusetra; melainkan kisah kesaharian kehidupan para urban dengan segala romantika permasalahannya.

Sampaan

Pergelaran itu, mengambil lakon Pelacur dalam Pandangan Sosiologis, sebuah repertoar yang ditulis oleh Sosiawan Leak berjudul. Lakon nitu bernarasi tentang kehidupan para pelacur yang beroperasi di jalanan, setelah kompleks lokasisasi mereka ditutup oleh instansi terkait, dan berbagai intrik yang melibatkan sejumlah pejabat dari lingkungan rukun warga hingga pejabat kota. Lakon yang berlangsung selama dua jam itu, dikemas dalam format drama komedi satir yang sarat dengan kritik, layaknya sebuah pentas teater. Hal itu menjadi tidak berlebihan, jika melihat basis si penulis naskahnya yang suntuk dalam dunia teater dan kepanyairan, yang malam itu juga bermain sebagai pemegang rythm sekaligus penembang.

Bukan itu saja, dengan format sampaan yang riuh --meski tetap dan berusaha untuk menjaga kontinyuitas jalannya cerita--, pentas yang dibuka dengan tembang "Balada Kampung", "Menabrak Mentari" dan "Nyi Kempit" itu tidak hanya mengandalkan kemampuan Jlitheng Suparman SS sebagai dalang, tapi juga dukungan dan kemampuan orkestrasi bermain musik yang baik pendukungnya. Para pemusik seperti Yayat Suhiryatna, Max Baihaqi, Joko Ngadimin, Dwijaya Syaiful Munir, Agung Munir, Ade Kholiq, dan beberapa lainnya, adalah bukan nama baru dalam dunia musik kontemporer. Pengembaraan bermusik mereka dari loka lokal, nasional, sampai beberapa loka di ranah internasional merupakan sebuah jaminan yang mampu menghasilkan suatu komposisi musik pengiring yang apik.

Maka, jadilah pementasan Wayang Kampung Sebelah tak ubahnya sebuah pentas teater sampaan yang melibatkan pemusik bahkan penonton menjadi bagian dari pertunjukan yang terkadang kebablasan dan benar-benar kampungan. Kampung, memang ada kalanya menawarkan kerinduan.(Benny Benke-41)

Tidak ada komentar: