Sabtu, 09 Februari 2008

Koma, Kunjungan Cinta

Sabtu, 13 Januari 2007. BUDAYA

Simalakama Kota Gula

Nano Riantiarno menggubah Kunjungan Cinta dari karya Friedrich Durrenmatt, Der Besuch de alten Dame, sebagai lakon ke-111 Teater Koma. Di tangan sang sutradara itu, lakon tersebut terasa amat Indonesia. Dia menohok kondisi kekinian masyarakat dan negara ini yang gemar mengutang untuk menutupi kemiskinan. Satire yang getir. Para tokoh dalam kisah versi asli hidup pada tahun 1950 di kota Gullen. Namun dia memelesetkan menjadi kota Gula tahun 2007. Teater Koma telanjur dicitrakan gemar menghadirkan lakon berbalut drama komedi hitam atau pabrik tawa. Namun kali ini mereka mengusung semangat realisme dalam pementasan lakon itu pada 12-28 Januari di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Skenografer Saeful Anwar menyulap panggung dengan latar realis era 50-an dengan berbagai pernik sezaman. Dia menghadirkan sebuah hotel mediterania berlantai dua dengan balkon plus warung kelontong bertingkat. Bangunan itu nyaris tak berbeda dari warung di alam nyata. Dia menata stasiun kereta api dan balai kota di Gula dengan sistem bongkar-pasang.
Mengena

Kualitas para pelakon pun tak perlu diragukan lagi. Ya, siapa meragukan kemampuan akting Ratna Riantiarno, Butet Kartaredjasa, Budi Ros, Sari Madjid, Salim Bungsu, O'han Adiputra, Budi Sobar, Dorias Pribadi? Apalagi ditunjang garapan musik Idrus Madani dan kawan-kawan. Maka, pepak sudah Kunjungan Cinta sebagai tontonan yang menyajikan secara mengena penggadaian moral. Lakon realis berdurasi tiga setengah jam itu tidak sederhana. Penonton butuh stamina untuk mencermati setiap dialog agar tak kehilangan jalinan cerita. Dari sisi alur cerita, sebenarnya tak ada yang rumit. Naskah itu dikukuhkan sebagai Drama Critics Circle Award di New York (1956) dan Schiller Award, Manheim, Jerman. Pengisahan berpangkal dari konflik antara Klara Zakanasian (Ratna Riantiarno) dan kekasih masa lalunya, Ilak Alipredi (Butet Kartaredjasa). Klara, perempuan terkaya di dunia, ingin membangkitkan perekonomian kota Gula yang mati. Apalagi penduduk dan Ilak, calon wali kota terpilih, tak mampu berbuat apa-apa. Klara menawarkan dana hibah Rp 1 triliun ke penduduk Gula. Dia mengajukan syarat, yakni penduduk harus menyerahkan nyawa Ilak. Penduduk terperangah. Apa yang mereka pilih? Mengukuhi nilai-nilai moral dalam kubangan kemiskinan atau meraih kesejahteraan dengan mengorbankan satu nyawa? Sungguh buah simalakama bagi mereka. Namun akhirnya tabir terbuka. Klara ternyata menyimpan dendam pada Ilak. Ya, 45 tahun lalu, saat mereka berusia 17 tahun, dia dikecewakan sang kekasih itu. Kini, dia ingin dendam itu terlunasi. Dia pun menggoda penduduk untuk menggadaikan moral agar lepas dari jerat kemiskinan. Godaan itu terlalu besar itu bagi rakyat yang berkubang dalam kemiskinan. Jadi, berapa lama mereka mampu bertahan? (Benny Benke-53)

Tidak ada komentar: