Sabtu, 09 Februari 2008

Butet Kartaredjasa, Matinya Toekang Kritik

Sabtu, 04 Februari 2006. BUDAYA

Kritik Sosial Masih Jadi Andalan Butet

JAKARTA- ''Dikritik itu memang sakit, tapi jauh lebih sakit jika kritik tidak didengarkan,'' ujar Suhikayatno, tukang kritik sejati yang tidak akan pernah mati, menarasikan perasaanya. Selanjutnya, monolog ''Matinya Toekang Kritik'' yang berdurasi 90 menit itu mengalir dengan penuh gelak tawa sebagaimana ciri utama monolog yang dibawakan Butet Kartaredjasa. Lakon yang disutradari oleh Whani Darmawan, sebagaimana monolog Butet terdahulu berjudul ''Lidah Masih Pingsan'', memang masih tajam dengan berbagai kritik sosial tentang kondisi kekinian di Indonesia. Kekuatan kritik sosial yang dituangkan dalam setiap monolog Butet inilah yang menjadi kekuatan kunci utama lakon yang akan dipentaskan di Jakarta (3-5 Februari), Yogyakarta (11-12 Februari), dan Surabaya (17-18 Februari). Selain kekuatan pada naskah yang ditulis oleh Agus Noor, peran multimedia yang hampir mendominasi hampir selama pertunjukan adalah nilai plus lain ''Matinya Toekang Kritik''. Sedangkan keaktoran Butet, meski masih menarik, tampak mulai kedodoran pada pertengahan pertunjukan. Untung saja, improvasi putra almarhum Bagong Kussudiardjo ini masih piawai seperti dulu. Seperti biasanya, kekompakannya "berduet" dengan sang adik, Djaduk Ferianto sebagai penata musik bersama empat kru lainnya, membuat pertunjukan makin menarik. Simaklah ketika pada preview pertunjukan perdana di Graha Bhakti Budaya (2/2), Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Butet menunjukkan kelihaiannya berimproviasi dengan Djaduk. ''Nama itu membawa tuah bagi yang menyandangnya,'' ujar tokoh Sukihayatno dari atas panggung dengan topi pet berlambang bintang. ''Coba-coba sekarang namanya siapa,'' tanya Suhikayatno kepada kru musik. Djadukpun spontan berpekik: ''Mudji Sutrisno!''.


Multimedia

Bisa ditebak Suhikayatno yang tak lain adalah Butet memelesetkan sedemikian rupa nama Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu. Penonton tentu saja terpingkal, dan Prof Dr Mudji Sutrisno yang kena sasaran hanya tersenyum. Demikian halnya penonton VIP lainnya seperti Mochtar Pabottingi, Frans Seda, Ignas Kleden serta Rieke "Oneng" Dyah Pitaloka. Hal yang paling membedakan monolog Butet terkini mungkin peran yang sangat sentral multimedia. Suara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan presiden Megawati, dan presiden Soekarno misalnya, menjadi pembuka monolog ini yang keluar dari multimedia. Dan dalam setiap pergantian atapun kontinuitas pertunjukan, layar yang menjadi setting mendiskripsikan kejadian-kejadian yang pernah terjadi di bumi Indonesia. Dari peristiwa kerusuhan Mei 1998 hingga masa proklamasi Indonesia, penggusuran dan berbagai peristiwa penting lainnya. Menurut Agus Noor, sentralitas dan banyaknya peran multimedia ini bukan berarti tanpa risiko. "Karena, sekali multimedia mengalami error maka sangat dimungkinkan akan mengganggu monolog secara keseluruhan. Meski kami sudah menggunakan multimedia selama satu bulan penuh, error masih saja terjadi. Maklim namanya juga mesin .'' Meski berisiko, Jompet, Arie Ps dan Giras Basuwonto (putra Butet) yang dipercaya memegang multimedia akhirnya toh tetap mampu menyuguhkan sebuah pertunjukan dengan apik. Memadukan kepintaran Butet dalam berlakon, meski tidak selihai dulu, dengan kecanggihan komputer. ''Matinya Toekang Kritik'' pada garis besarnya berkisah tentang Sukihayatno, seorang tukang kritik yang hidup di tahun 2012 hingga 3000- sekian. Lewat kisah hidup Suhikayatno yang kerjanya mengkritik dari satu rezim ke lain rezim, Suhikayatno bersaksi tentang kondisi negeri. Bersama Bambang (yang diperankan Butet juga), pembantu setianya, Suhikayatno terus saja mengkritik demi kebaikan dirinya sendiri dan negerinya. Hingga pada masanya kondisi zaman benar-benar menjadi tertib dan teratur, sehingga tidak ada yang bisa dikritik lagi. Anggota DPR tidak nakal lagi. Polisi, hakim dan jaksa tidak menjualbelikan perkara lagi. Mahasiswa tidak kenal narkoba dan semua berjalan dengan baik-baik saja. ''Di zaman tertib seperti ini, nabi pun sudah tidak diperlukan lagi,'' katanya masygul dan akhirnya mati. ''Saya hanya ingin menyampaikan kepada masyarakat jika kritik bagaimanapun juga masih dibutuhkan di negeri ini,'' ujar Agus Noor. (Benny Benke-45)

Tidak ada komentar: