Sabtu, 09 Februari 2008

Christine Hakim

Bincang Bincang. Minggu, 11 Mei 2003

Christine Hakim:
Memang Enak Jadi Hero?

BUKAN perempuan biasa. Julukan tersebut tidak berlebihan jika harus disematkan kepada Herlina Nathalie Christine Hakim yang telah membintangi lebih dari 30 judul film bermutu di Tanah Air. Prestasi istri A Jerone Lezer ini memang luar biasa. Sekadar mengingatkan, perempuan kelahiran Kuala Tungkal, Jambi, Sumatera, 25 Desember 1957 itu pernah menjadi juri di Cannes Film Festival ke-55 di Prancis, mendapat Piala Citra, dan kini juga disebut sebagai salah seorang pahlawan Asia oleh Majalah Time. Apa komentar dia tentang anugerah tersebut? Apa pula pendapat dia mengenai kondisi perfilman Indonesia dan berbagai persoalan bangsa ini? Berikut petikan perbincangan Suara Merdeka selama empat jam dengan anggota Yayasan Untukmu Guru itu dalam perjalanan dari Jakarta ke Lebak.

Kepulangan Anda dari Malaysia berhubungan dengan anugerah yang diberikan oleh Time sebagai salah seorang pahlawan Asia?

Tidak, karena yang saya lakukan sekarang di Yayasan untukmu Guru sama sekali memang tidak berkaitan dengan penghargaan yang diberikan oleh Time. Ini justru berhubungan dengan ''departemen ketuhanan'', yakni bagaimana kita menempatkan diri sebagai manusia. Karena itu, saya tak ingin kegiatan saya meresmikan renovasi sebuah sekolah dasar di Banten ini diekspos.
Anda mulai ingin memperhatikan dunia pendidikan?

Nah, inilah yang memang sebenarnya mesti dipikirkan. This is our problem. Ini bukan tugas ringan. Saya ke sini sebagai orang Indonesia yang mempunyai tanggung jawab. Sekecil apa pun yang kita lakukan, asal disertai ketulusan, cinta, dan kesadaran, pasti akan memberikan manfaat. Harus Anda ketahui, anak Indonesia yang kekurangan gizi mencapai empat juta! Kalau tidak diawasi akan semakin banyak lagi. Jadi, ini merupakan masalah regenerasi ke depan. Bagaimana mampu menghasilkan masyarakat Indonesia yang baik, kalau kita mengabaikan permasalahan ini?

Kenapa memilih berjuang lewat Yayasan untukmu Guru?

Banyak cara untuk berjuang. Mungkin banyak teman memilih berjuang dengan berdemonstrasi dan sebagainya. Akan tetapi saya memilih berjuang secara konkret dan langsung bersentuhan dengan masyarakat. Misalnya, saya lebih suka memilih menempuh perjalanan yang lumayan melelahkan ini, untuk meresmikan sebuah gedung SD yang sudah tak layak digunakan untuk proses belajar mengajar. Atau saya pergi ke Tangerang untuk membagikan susu. Ini hanya soal pilihan. Kalau masalah ekspos tentang diri saya, more than enough-lah. Yang saya lakukan dengan yayasan ini di mata kawan-kawan pers kan bukan masalah yang seksi. Lain dengan tema Time, misalnya, meski sebenarnya saya sudah di interview dua bulan lalu.

Namun, Anda tetap senang menerima anugerah itu kan?
O, saya hanya mampu shalat dan berdoa. Ya Allah, apa yang telah saya lakukan sebenarnya masih sedikit dari apa yang semestinya dapat dan harus saya lakukan sebagai manusia. Saya malah memohon maaf atas ketidakmampuan dan keterbatasan saya. Dan, itu membuat saya menangis. Saya justru merasa belum berbuat apa-apa, meski penghargaan itu merupakan kehormatan dan penghormatan bagi saya. Akan tetapi di lain pihak, saya bukan tipe orang yang mudah terbuai oleh penghargaan-penghargan itu. Anda boleh lihat dan cari penghargaan-penghargaan di rumah saya atau di kantor, apakah ada Piala Citra atau tidak. Jujur... tak ada. Saya hanya pernah sekali mengangkat Piala Citra untuk pemotretan. Setelah itu saya kembalikan ke Teguh Karya.

Jadi, penghargaan-penghargaan itu justru menjadi beban?

Ya, hal itu malah membuat saya berpikir, peran apa lagi yang Tuhan inginkan dari saya. Yang saya lakukan baru sedikit jika dibandingkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini. Hal itulah yang membuat saya menangis. Bahkan pada saat saya bersimpuh di sajadah, terkadang ingin rasanya orang lain dapat mendengarkan apa yang saya utarakan. Satu saja harapan yang ingin saya sampaikan kepada pemimpin-pemimpin Indonesia: Stop to think about them self dan stop berpikir tentang kepentingan kelompok. Saya ingin semua itu tersampaikan secara langsung. Saya ingin mereka mendengar. Ini bukan harapan saya pribadi. Seluruh bangsa Indonesia mengharapkan hal itu. Inilah reaksi saya pada penobatan saya sebagai one of the hero and the queen of Asia! Sayang, mereka (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) itu tahu persoalan bangsa ini, tetapi tidak merasakan betul bagaimana rakyat Indonesia di bawah penderitaan yang sangat-sangat-sangat-sangat berat. (Paras Christine mulai mendung, sendu, kemudian meneruskan pembicaraannya sembari tersedu-sedan, menangis, terbata-bata) Kalau mereka tidak tahu betul pada penderitaan semacam itu dan malah semakin banyak korupsinya, berarti bangsa ini sebenarnya sudah tidak punya apa-apa lagi. Untuk menghibur diri kita selalu bangga kepada diri kita. Kita bilang, ''Indonesia adalah bangsa yang besar dan kaya kebudayaan.'' O, apa yang kita berikan untuk melestarikan kebudayaannya! Nothing! Kaya? Oho, di mana kekayaan kita? Kita sudah tidak punya kekayaan apa-apa lagi. Sudah dilelang-lelangin semua. Tanahnya yang dulu kaya sudah kering. Minyaknya kering. Tambang pun kalau tidak dikelola dengan baik tidak akan menjadi apa-apa. Kekayaan Malaysia kalau dibandingkan dengan Indonesia tidak ada apa-apanya. Namun, mereka tahu bagaimana mengembangkan yang sedikit itu menjadi lebih besar dan menjaganya. Yah...akhirnya kembali dengan apa yang bisa dilakukan oleh seorang Christine Hakim?

Penobatan oleh Time kian menjadi beban berat dong?
Tidak juga. Yang penting jujur pada diri sendiri. Apa itu hero? Saya tidak pernah merasa jadi hero. Memang enak jadi hero? Saya hanya melakukan apa yang semestinya dan mampu dilakukan. Sesimpel itu saja. Jadi, penobatan itu tidak akan menjadi beban. Itu suatu kehormatan. Apa pun penghargaan itu mengandung tugas cukup berat ke depan. Kalu ada pilihan dalam hidup, apa yang akan selalu Anda lakukan? Terus terang, kalau saya sudah kaya saya mau menjadi pekerja sosial saja. Bintang film kayak saya ini tidak mungkin kaya. Kecuali Julia Robert yang dari satu filmnya saja....

Tidak ada target bikin film agar mendapat Oscar?
Ah, jangan mikir Oscar dulu. Bikin dulu yang bisa bermanfaat bagi masyarakat film dan bangsa Indonesia. Ini bukan hal gampang. Sekarang saja saya ingin memproduksi film, tak ada dananya. Termasuk ingin bikin film tentang guru...

Film Indonesia konon sedang bangkit. Simpulan ini sebuah ketergesaan?,

Saya kira bukan ketergesaan. Memang siklusnya seperti itu. Terus terang mengenai industri film, saya ngiri pada Malaysia. Potensi mereka jauh sekali dari Indonesia. Namun, mereka punya iktikad untuk membangun negeri, bangsa, dan perfilmannya. Dalam pembuatan sebuah film di Malaysia, salah satu produsernya menteri agry-culture. Bayangkan, mungkin ini kebetulan, karena istrinya juga bintang film. Film itu bertajuk Putri Gunung Ledang. Saya main bareng Slamet Rahardjo dan Alex Komang. Saya juga baru saja menghadiri Malaysia Film Festival. Secara kualitas ya biasa saja. Namun, potensi anak mudanya hebat. Dalam 10 tahun mendatang akan muncul film-film Malaysia yang berkualitas.

Perkembangan film kita lima atau sepuluh tahun mendatang?
Saya kira pertumbuhannya masih akan lambat. Daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi belum pulih, sedangkan cost untuk membuat film tinggi.
Siapa yang salah? Masyarakat atau insan film?

Masyarakat Indonesia secara keseluruhan, teristimewa pemerintahnya. Pemerintah yang membangun, tetapi mereka juga menhgancurkan. Sekarang orang film disuruh membangun sendiri. Tidak bisa.

Lalu bagaimana meningkatkan apresiasi masyarkat?

Sulit. La wong mereka sudah diadang permasalahan sehari-hari yang berat. Sekarang pun aku harus berpikir tiga kali lipat untuk bikin film dibandingkan kali pertama bikin film. Persoalan dalam dunia perfilman sangat banyak. Selain belum punya konsep yang jelas untuk pembinaan film Indonesia, kita juga tak punya punya blue print. Akhirnya tergantung stamina masing-masing pekerja film. Saya juga mengharapkan teman-teman di televisi menyubsidi film. Di Eropa hal semacam itu bukan sesuatu yang baru. Sayang sekarang televisi-televisi swasta pun sudah mengurangi budget untuk film. Selain itu kita sulit mendapatkan scenario writer yang baik.

Bagaimana Anda mengomentari kecenderungan sinetron yang menayangkan cerita yang menjual mimpi?
Film itu juga membuat mimpi lo. Orang juga membutuhkan mimpi untuk menimbulkan spirit. Namun, terus-menerus bermimpi juga tak sehat. Seniman kalau tak mimpi kan tak bisa create something. Coba lihat soft-film seperti Dallas, Dinasty dan telenovela-telenovela, ada pembantu pacaran sama majikan. Yang bener aja, ya kan. Ini kan menjual mimpi tapi kenapa ditonton dan ratingnya tinggi? Tapi kalu kita mau bicara realitas itulah kondisi masyarakat: mau bilang apa kita? Saya sendiri baru main sinetron tiga kali: Bukan Perempuan Biasa, Tiga Orang Perempuan dan Telaga Air Mata. Kalau di sinetron kuncinya di cerita dan penyutradaraan.
Tak tertarik mengungkapkan nasib guru dalam film?

Sudah. scriptnya sudah jadi. Tinggal re-write dan cari dana minimal Rp 7 miliar. Settingnya tentang Togian Island Boat People atau kehidupan guru di masyarakat Bajaou -masyarakat perahu-- di Sulawesi.

Sebenarnya peta perfilman Indonesia terkini di dunia internasional bagaimana?
Cukup baiklah.

Sebagai sesama kreator, ada komentar untuk Inul?

Perlakuan semena-mena pada Inul tidak bisa dibenarkan. Mungkin niatnya baik, tapi caranya yang tidak benar. Namun, mengapa saya tidak ikut dalam permasalahan Inul? Karena saya juga punya tugas berat yang harus disuarakan. Itulah sebabnya tolong dipahami kalau saya tidak ikut meramaikan soal ini. Bukan berarti saya tidak ikut solider terhadap teman seniman. Namun, ada hal lain yang sudah tidak bisa ditunda.

Anda pernah ''jadi'' Cut Nya' Dhien, apa opini Anda untuk masalah Aceh?

Saya prihatin pada Aceh. Cukuplah pertumpahan darah yang telah berlangsung selama berabad-abad itu. Saya rasa pejuang-pejuang Aceh seperti Cut Nya' Dien atau Teuku Umar pasti juga merasakan hal sama dan tidak mengharapkan darah terus mengalir. Permasalahan Aceh memang susah, karena menurut hemat saya ada kepentingan lain yang menginginkan Aceh tetap bergejolak. Semua berpulang kepada masyarakat Aceh itu sendiri. Kalau ingin keluar dari segala penderitaan, stop perang dulu. Kontak senjata tidak boleh ada. Dan, itu harus melibatkan kesadaran dari kedua belah pihak serta pihak ketiga yang berkepentingan. (Benny Benke-72)

Tidak ada komentar: