Sabtu, 09 Februari 2008

Ismail Marzuki

Selasa, 09 Nopember 2004. BUDAYA

Atas Nama Masa Lalu dan Air Mata

RASA patriotisme dan keharuan memang dapat ditimbulkan dari sebuah lagu. Apalagi jika lagu itu dibawakan dengan nuansa yang mengharu biru sekaligus menimbulkan nuansa yang menusuk kalbu. Seperti itulah suasana yang terjadi ketika tembang-tembang abadi milik Ismail Marzuki, salah seorang komposer besar negeri ini, didendangkan di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, akhir pekan lalu. Simaklah ketika Jaya Suprana dengan permainan pianonya mampu membuai dalam '''Tribut to Ismail Marzuki''. Terlebih ketika pianis dan kelirumonolog ini mengantarkan komposisinya dengan menyertakan visualisasi latar berupa nyanyian para politikus, budayawan, dan pekerja seni ketika menembangkan ''Indonesia Pusaka''. Apalagi ketika secara medley, masih dengan iringan Jaya, Aning Katamsi (solis sopran) dan Christoper Abimanyu (solis tenor) memandu ratusan audience meng-hymne-kan tembang yang sama. Sehingga tak syak puluhan penonton meneteskan air mata ketika tembang ini menutup serangkaian malam yang dipersembahkan kepada jasa-jasa Ismail Marzuki bagi dunia musik Indonesia.


Jasa

Tribut ini memang tidak berlebihan mengingat jasa pahlawan nasional kelahiran Kwitang, Jakarta 11 Mei 1914 ini demikian besar. Ismail Marzuki menolak bekerja di Radio Republik Indonesia (RRI) semasa pendudukan Belanda. Dia lebih suka memilih membuka kursus bahasa Inggris di rumahnya, sementara istrinya berjualan gado-gado, mi goreng dan asinan. Komposisi-komposisinya cukup fenomenal meski pada masa sebelumnya, gubahan-gubahan legendaris seperti "Bisikan Tanah Air", "Indonesia Tanah Pusaka", "Gagah Perwira", "Indonesia Pusaka", dan "Rayuan Pulau Kelapa" telah lahir. Sehingga tidak berlebihan ketika Gilang Ramadhan yang memboyong grup jazz-nya, sudi turut mewarnai malam itu. Dengan balutan jaz yang terkadang pekat terkadang ringan, Gilang (drum), Donny Suhendra (gitar), Krisna (piano), Adi Dharmawan (bass) dan Benny Likumahua (trompet) mengiringi Trie Utami dan Edo Kondologit dengan nuansa jazzy nan apik. Tidak terbayangkan di benak ketika tembang ''Tinggi Gunung Seribu Janji'', ''Seribu Malam'', ''Sabda Alam'' dan ''Kopral Jono'' dibalut musik jaz. Terlebih lagi ketika Keroncong Tugu, salah satu grup keroncong tertua di Tanah Air yang didirikan pada 1920 turut memarakkan suasana. Sungguh, malam perhargaan untuk Ismail Marzuki yang melahirkan komposisi terakhir berjudul ''Inikah Bahagia'' dan menghembuskan nafas terakhir pada 25 Mei 1958 di usia 44 tahun ini, sanggup membawa kita ke nuansa masa lalu, lengkap dengan air matanya. (Benny Benke-81)

Tidak ada komentar: