Sabtu, 09 Februari 2008

Komunitas Gender Setengah Tiang

Rabu, 5 Februari 2003 . Budaya

Catatan untuk Kesenian Semarang (2)
Arok yang Kelebihan Tafsir

LAKON Arok karya dan sutradara Benny Benke dari Komunitas Gender Setengah Tiang Semarang di Teater Arena TBS, Jumat (31/1), dengan pola penggarapan surealistik yang memainkan gantungan tali-temali sepenuh ruang pentas, cukup membuat heran kalangan teater di Solo . Begitu juga memainkan lakon berlatar sejarah seperti Arok, Ametung, dan Dedes, dengan menampilkan sosok manusia milenium (paling tidak itu ditunjukkan oleh kostum ketat dengan bebatan plastik untuk menonjolkan warna perak), tentulah bukan hal yang biasa, meskipun itu telah jadi galib dalam kesenian. Keheranan, boleh jadi berawal dari asumsi buta yang sekian lama mereka genggam: Semarang itu kota yang kering kreativitas dalam seni pertunjukan. Sebuah asumsi yang sekian lama, lalu berubah menjadi stigma minor untuk menilai semua karya pertunjukan dari Semarang. Semarang hampir selalu tak pernah dianggap dalam peta seni pertunjukan. Keheranan itu, seolah mendapatkan muara pengaminan bila melihat pementasan perdana Arok di tempat yang sama, Maret 2002, yang memainkan model ketoprak, khususnya dalam pola pengadeganan, juga pada kostumnya. Saat itu, memang telah terlihat embrio surealisme dalam pendekatan estetik, juga artistiknya. Pola surealistik itu mengental pada penggarapan selanjutnya, khususnya ketika dipentaskan dua kali di Semarang. Apakah memang terjadi revolusi dalam memandang Arok, ataukah pentas perdana dengan model ketoprakan di TBS hanyalah sebagai semacam trial, sebagai proses? Arok dan juga Ametung yang hadir Jumat malam itu, adalah sosok-sosok yang sama ketika muncul Maret tahun lalu. Alhasil, Arok (dimainkan Ony Suprantyo) dan Ametung (Sony Wibisono), harus lebih banyak meluncurkan dialog dengan bergantungan di tali (entah kenapa, dari tiga pemain yang ada, hanya Dedes -diperankan Deasy Buih- yang hanya diminta berdialog dengan asyik berayun-ayun).


Terbalik

Hanya saja, ada yang patut disayangkan pada penggarapan yang memakai pendekatan surealistik oleh sutradara Benny Benke dan asisten sutradara Babahe Widyo Leksono itu. Yakni, terjadinya pemahaman yang terbalik dalam memandang segi-segi artistik dan estetik pertunjukan. Estetika yang semestinya menjadi ruh, ditenggelamkan oleh semua perangkat artistik yang ada. Setting tali gantungan, akting sulit di ayunan tali, kostum, juga musik suara mulut garapan Wisnu Bende dengan bunyi-bunyian onomatopis yang rawan dan getir, menenggelamkan estetika yang hendak dituju. Yang lalu jadi korban adalah teks. Teks lakon Arok yang diluncurkan lewat dialog, menjadi hanya serupa tuturan atau derasan bunyi mulut yang sulit untuk disimak, meskipun artikulasi semua pemainnya cukup bagus. Padahal, lakon karya Benny Benke itu sendiri sebenarnya sudah menjadi unsur terkuat. Ia adalah tafsir baru dari novel Arok Dedes Pramoedya Ananta Tour (juga dari Kitab Pararaton?). Itu dibuktikan, misalnya, pada verbalisme mengenai gagasan feminisme berupa gugatan perempuan terhadap dominasi lelaki yang ada dalam lakon. Pada karya Pram, dan tentu saja di Pararaton, tak ada verbalisme seperti itu. Jadi, memang telah ada perubahan pada seni pertunjukan di Semarang. Paling tidak, kota itu tak lagi kering kereativitas. Ia mulai basah, meskipun tentu saja tak seperti rob yang selalu menggenangi kota tersebut.(Saroni Asikin-41)

Tidak ada komentar: