Sabtu, 09 Februari 2008

Romo Mudji S

Rabu, 12 Desember 2007. BUDAYA

Puisi Beribu Makna

Non solo nel credere Non basta col parlare Non basta col vedere e pensare Ma NEL VIVERE ,

STANZA yang dinukil dari ungkapan Itali yang berarti tak cukup hanya beriman, tak cukup hanya bicara, tak hanya menonton dan menimbang saja, namun dengan menghidupinya itu dilengkingkan dalan bait lagu oleh Castanet. Duo yang mengaransemen puisi Romo Mudji Sutrisno itu memberikan makna tersendiri. Dalam sajak "Beriman", misalnya, pesan budayawan dan pemikir kelahiran Surakarta 53 tahun lalu itu terasa lebih mengena dan bernyawa dalam balutan musik. Tak berlebihan ketika Sita Nursanti, yang tenar lewat RSD, membungkus sajak "Sunyi" dari buku sajak Mudji yang lain berjudul Sunya serta "Gerhana I" dapat menyirep penonton dalam nada himne. Begitu pula ketika penyanyi jazz Syahari mengemas sajak "Redup Gempa" dan "Tragedi Bumi" dalam kemasan art rock yang dekat dengan nuansa jazzy. Lagi-lagi, puisi yang dimusikalisasi sedemikan rupa itu lahir kembali dalam aras tersendiri.

Jalan Seni

Arswendo Atmowiloto yang hadir dalam peluncuran buku puisi dan sketsa Rekah Lembah karya dosen Sekolah Tinggi Filasafat Driyarka Jakarta dan Pascasarjana UI itu berujar, "Jalan seni itu berbeda dari dogma agama." Karena itu, seni punya logika dan estetika yang tak bisa disamakan dalam memandang agama. Meski sang kreator seorang imamat seperti Romo Mudji Sutrisno sekalipun. Pisi dan sketsa penulis puluhan buku filasafat itu lahir atas pergulatan dalam menyerap, memaknai, dan menyiasati persoalan hidup dengan ketajaman hati. Puisi dipilih sebagai perayaan atas kemenangan nilai kemanusian lintas iman, mengatasi sekat agama. Mengapa Romo Mudji memilih puisi dan sketsa dalam buku yang dirilis di Galeri Nasional Jakarta itu? "Karena, ketika saya susah mengungkapkan pergulatan hidup lewat sastra, puisilah yang dapat mewakili. Ketika kata tak mampu lagi mengungkapkan perasaan saya, lahirlah sketsa," ujar Mudji. Maka beribu makna puisi dan berjuta arti sketsa itu siap berdiri sendiri dalam estetika yang berbeda dalam balutan musik. Meski bukan ikhwal baru, menghidupkan sajak dalam musik dan memanjangkan gagasan dalam sketsa tetaplah lebih bermakna daripada sekadar diam, tak melakukan apa-apa. (Benny Benke-53)

Tidak ada komentar: