Sabtu, 09 Februari 2008

Opera Kecoa, Koma

Jumat, 11 Juli 2003 . Budaya

Opera Kaum Pinggiran

SUNGGUH, dengan bahasa tutur yang sederhana, lakon Opera Kecoa yang dimainkan Teater Koma mengalir menjadi sebuah kisah yang membumi. Tema cerita "pinggiran" ditampilkan dengan elok. Maka, Opera Kecoa pun menjadi sebuah sajian yang menawan. Tak mengherankan jika sejak hari pertama (dari sembilan hari pementasan) tiket terjual habis. Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), tempat pentas, selama tujuh hari (mulai Jumat, 4/7 hingga semalam) "full house". Apa sebenarnya magnet dari Opera Kecoa hingga memperoleh antusias penonton yang luar biasa? Bisa jadi, selain cerita yang mudah ditangkap (cair), keberadaan Teater Koma masih menjadi daya tarik. Termasuk nama Nano Riantiarno sebagai pimpinan teater yang dalam pementasan kali ini selaku penulis naskah dan sutradara. Tapi di luar itu semua, lakon berdurasi sepanjang tiga setengah jam itu memang menjadi paket tontonan opera teater yang menyenangkan. Tanpa bergantung pada tata dramaturgi baku, Nano mampu menghadirkan Opera Kecoa dalam posisi kontekstual dengan fenomena kekinian. Sekadar catatan, lakon yang sama pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 1985 lalu.
Hitam Putih
Secara tema, lakon ini sangat hitam putih. Yakni dengan mengambil titik sentral pada kehidupan para pekerja seks, bromocorah, banci, dan gembel yang tinggal di gubuk-gubuk reot. Dikisahkan Roima (Idris Pulungan) bersama kekasihnya yang waria, Julini (Salim Bungsu) meminta pekerjaan kepada kepada Tuminah (Ria Irawan). Lewat germo Tarsi (Ratna Sarumpaet), Roima diterima menjadi preman. Di luar keh /ÓÄk mereka, Roima, Julini dan Tuminah terjebak dalam cinta segitiga. Di tengah konflik, muncul seorang pejabat (Butet Kartaredjasa) yang ingin meratakan lokalisasi. Namun, sang pejabat ternyata malah menjalin affair dengan Tuminah. Dan tak sebagaimana kisah klasik tentang kejahatan (hitam melawan putih), kali ini si jahat memenangkan pertarungan. Lokalisasi berhasil dibumihanguskan, dan para penghuni kocar-kacir. Pada masa Orde Baru (1990), lakon ini pernah dicekal ketika akan dipentaskan. Bisa jadi, ketika itu rezim sangat malu jika kaum marginal dipertontonkan. Dan kini, agaknya kita akan mengenang potret buram kaum pinggiran ini dengan terbahak, nyengir, atau nyinyir karena "ketelanjangannya".(Benny Benke-79)

Tidak ada komentar: