Sabtu, 09 Februari 2008

Rindu Kami PadaMu. Garin N

Senin, 08 Nopember 2004 BUDAYA

Garin Nugroho Tak Lagi Berpuisi

DI sebuah pasar tradisional, lalu lintas persoalan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya tidak pernah usai. Dari sana, tiga persoalan dari tiga bocah yang lugu dan lucu menawarkan perenungan. Tak ada yang pelik, tak ada pula tema yang ndakik-ndakik. Dengan bahasa gambar dan komposisi seting menawan, sebagaimana karya-karya Garin Nugroho sebelumnya, Rindu Kami PadaMu menawarkan sebuah alternatif tontonan yang layak bagi segala kalangan. Sineas berbakat itu mengangkat kisah orang kebanyakan. Salah satunya adalah Asih (Putri Mulia), yang senantiasa membuat ayahnya, Pak Sabeni (Jaja Miharja), resah. Asih selalu menyisakan sebuah tempat kosong (shaf) di sebelahnya setiap kali dia sholat berjamaah di Masjid. ''Ini untuk Ibu?'' pekiknya setengah menghardik kepada setiap orang yang hendak merapatkan shaf. Dan akhirnya, shaf kosong yang selalu disisakan oleh Asih kepada ibunya yang pergi entah ke mana itu tetap dibiarkan kosong, meski ''akan mendatangkan setan''. Tokoh yang lain adalah Rindu (Raisa Pramesi). Dia gemar menggambar masjid yang tak sempurna. ''Gambar masjid itu ada kubahnya,'' kata Ibu Imah (Neno Warisman) menasehati Rindu yang tuna rungu. Rindu bergeming dan terus menggambar masjid tanpa kubah. Pak Bagja (Didi Petet), guru ngajinya, berulang kali memberikan nasehat yang sama. Namun, Rindu tak peduli. Ia senantiasa bersikukuh menggambar masjid tanpa kubah. Tokoh ketiga bernama Bimo (Sukarta Harapen Ginting) yang terus berbuat onar dan rusuh kepada Seno (Fauzi Baadila), kakak satu-satunya yang merawatnya. ''Kalau aku nakal dulu ibu tidak pernah memarahiku,'' katanya lantang ketika pada suatu siang ia mengamuk menggegerkan seisi pasar, dengan menghancurkan telur dagangan kakaknya.

Sosok yang Dirindu

Demikianlah film yang meski sarat dengan idiom-idiom pencarian para pelakonnya kepada sosok-sosok yang dirindukan dan dicintainya mengalir dengan ringan. Dengan kekayaan analogi yang akrab dengan kehidupan sehar-hari, unsur religius dalam film yang sepenuhnya digarap di studio ini malah sanggup mengharu biru penonton. Maka, tidaklah mengherankan ketika di akhir cerita, Asih yang terus bersetia menyisakan sebuah tempat kosong setiap kali ia sholat di masjid, akhirnya menjumpai shaf itu telah terisi oleh kehadiran orang yang dirindukan dan dicintainya. Demikian pula Rindu, yang pada akhirnya sudi menggambar masjid dengan kubahnya, setelah akhirnya, kakaknya datang bersama kubah masjid yang telah ditunggu-tunggu seluruh warga pasar. Hal yang sama terjadi pada si bengal Bimo, yang menemukan sosok ibu dari Cantik (Nova Eliza) yang bersedia menerima bertelur-telur cinta dari Seno, kakaknya. Semuanya bahagia di sini. Dan air mata menjadi upahnya. Garin Nugroho biasanya membuat film yang sangat personal dan puitis sehingga sulit ''berdamai'' dengan pasar. Namun, kali ini dia ingin bernarasi secara datar, ringan, cair dengan memprosakan gagasannya. Film ini akan diputar di bioskop-bioskop menyambut Hari Raya Idul Fitri 1425 H. ''Film ini memang saya persembahkan untuk Ibu saya dan semua ibu,'' katanya seusai pemutaran perdana film Rindu Kami PadaMU. Ah, pantas saja hampir semua ibu, perempuan atau bahkan penonton pria menyeka air matanya. Kali ini Garin memang tidak berpuisi. (Benny Benke-63)

Tidak ada komentar: