Sabtu, 09 Februari 2008

Pramudya Ananta Toer

Senin, 06 September 2004. BUDAYA

Novel Pramoedya Difilmkan

MESKI semakin kelihatan renta dan kepayahan, Pramoedya Ananta Toer (79) ternyata masih menyimpan api di dadanya. Mau bukti? Ajaklah mantan anggota pleno Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) ini berbicara tentang susastra. Niscaya penulis berbagai karya sastra yang telah diterjemahkan dalam 30 bahasa ini akan antusias menyambutnya. "Tentu saja saya senang sekali dengan maraknya buku sastra yang dijual dewasa ini," katanya sesuai memberi sambutan dan membuka secara resmi toko buku QB World Book di bilangan Semanggi, Jakarta, Jumat (3/9). "Waktu zaman saya, buku sastra sebanyak 3.000 eksemplar baru akan habis dalam masa lima tahun. Tapi sekarang, dalam jumlah yang sama bisa sold out dalam waktu hanya 3 bulan," imbuhnya dengan binar di paras keriputnya. Menurut penerima penghargaan Magsaysay Award (1995) dari Filipina ini, indikasi dari kemajuan sebuah bangsa di tentukan oleh maraknya bacaan susastra. "Karena di negara maju bacaan sastra menjadi sesuatu yang diwajibkan. Meski tentu saja tetap ada buku yang bagus dan buku yang tidak bagus. Jadi biarkan masyarakat yang memilih," imbuhnya. Ketika disinggung mahalnya harga buku sastra yang beredar di pasaran dewasa ini, Pram yang masih gemar menghisap berbatang-batang rokok itu menjawab: "Harga mahal itu bukan urusan pribadi, tapi urusan fluktuasi. Jadi ini masalah negara". Ketika kembali dikejar pertanyaan perihal salah sebuah novel masterpiece-nya yang hendak difilmkan, dengan sigap ia pun menjawab: "Memang, Bumi Manusia akan difilmkan dalam waktu dekat. Saya telah tanda tangan kontrak bulan ini. Tapi saya lupa dengan siapa ya namanya. Sekarang sudah terlalu sulit mengingat nama," katanya. Dia lupa nama produser dan sutradara yang hendak memfilmkan novelnya. Namun demikian Pram yang sengaja membangun rumahnya di daerah Bogor hingga enam lantai itu tidak lupa dengan nilai kontrak yang didapatkannya, "Jangan ditulis jumlahnya ya. Nanti ada yang menjahili saya," katanya yang telah memberikan anjuran kepada sang sutradara agar skenarionya ditulis oleh Parakitri. Ya, salah seorang sastrawan terkemuka Tanah Air yang tersisa ini memang membuat sebuah catatan yang panjang terhadap perjalanan berbangsa dan bernegara lewat karya-karya masyhurnya. Sehingga tidak berlebihan ketika Pram memukul gong sebagai tanda secara resmi dibukanya toko buku milik Richard Oh ini. Para sastrawan lainnya yang hadir seperti Hamzad Rangkuti, Sitor Situmorang, Danarto serta Sitok Srengenge, Djenar Maesa Ayu, Romo Mudji Sutrisno, dan Yenny Rosa Damayanti memberikan aplaus panjangnya sebagai penghormatan atas dedikasinya dalam dunia sastra. (Benny Benke-81)

Tidak ada komentar: