Sabtu, 09 Februari 2008

Koma, republik togog

Kamis, 29 Juli 2004. BUDAYA

Republik Togog, Protes Kekinian Indonesia

Kuberi kau suara/ kau rampok jiwaku juga/ Kuberi kau percaya/ Tapi kau berfoya-foya// Kukira kau mengabdi/ Nyatanya malah menyakiti/ Kau tega buang nurani/ Tugas suci dikhianati...//Republik togog, republik togog/ Memaksa rakyat semakin goblok/ republik togog, republik togog/ dan masa depan di dalam batok//

TEMBANG pembuka berjudul ''Republik Togog'' yang menjadi pembuka lakon ke-103 Perkumpulan Kesenian Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Selasa (27/7) malam, itu dinyanyikan dengan koor membahana. Lebih dari 30 pelakon awak kelompok teater yang berdiri sejak 1977 itu menari dan menyanyi dengan pola gerak serempak. Begitu tembang pertama purna, Kunti (Ratna Riantiarno), Parwita (Cornelia Agatha), dan Limbuk (Tuti Hartati) berbantah pendapat perihal keadaan kerajaan Amartapura dengan rajanya Samiaji (Budi Eros).
Selanjutnya, lakon berjudul Republik Togog yang berdurasi lebih dari tiga jam ini mulai menarasikan berbagai rona intriknya. Dan penonton yang menyesaki tempat duduk pun mulai disuguhi berbagai kelucuan dan anekdot khas Teater Koma dalam menyindir kondisi kekinian. Dan Nano Riantiarno sebagai penulis naskah dan sutradara tampaknya masih bersetia memegang teguh pola lamanya. Sebagaimana lakon-lakon besutannya sebelumnya seperti Opera Kecoa, Opera Julini, Opera Primadona, Sampek Engtay, Presiden Burung-burung, dan beberapa judul lainnya. Salah seorang anak didik teaterwan besar Tanah Air, almarhum Teguh Karya ini, membungkus lakonnya dalam bentuk opera. ''Ini hanya masalah pilihan tafsir,'' katanya seusai pementasan perdana yang akan berlangsung hingga 6 Agustus 2004. ''Dan bagi saya, kesenian adalah seni menafsir alam dan kehidupan. Tujuannya hanya satu; berterima kasih kepada alam dan kehidupan. Apapun anugerah alam dan kehidupan kepada kita, buruk atau baik, tetap harus di sebut sebagai anugerah,'' imbuhnya. Menurut Nano, lakon Republik Togog secara garis besar bernarasi tentang kemunafikan. ''Ini merupakan sinergi dari lakon Tartuffe karya Moliere dan lakon Sadewa Tumbal, Mahabharata,'' katanya. ''Dengan mengawinkan wayang Jawa dan wayang Prancis maka lahirlah wayang Teater Koma,'' imbuhnya.
Metafora

Ya, lakon yang berkisah tentang Samiaji, raja Amartapura yang terkena pengaruh Tejamantri (Togog) dan Kalika ini memang berpijak dari potret kekinian Indonesia. Sehingga tidak aneh jika berbagai sindiran berkenaan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik berhamburan sepanjang pertunjukan meski disampaikan secara pengandaian (metafor). Dikisahkan dalam lakon wayang, Sri Kresna dan Semar menjadi tumpuan segenap harapan. Kedua tokoh itu akan muncul jika Pandawa Lima mengalami kesulitan. Sri Kresna adalah pakar yang piawai mengatur berbagai urusan kenegaraan dan penafsir andal garis nasib yang dipatok para dewa. Sedangkan Semar, meski hanya seorang panakawan (pana= cerdik, kawan= sahabat) diakui punya kemampuan membimbing rohani Pandawa Lima. Dan dalam Republik Togog, kedua tokoh panutan Pandawa Lima ini menghilang. Sehingga Amartapura pun gunjang-ganjing di bawah cengkraman Tejamantri (Togog). Sehingga kemunculan Sri Kresna dan Semar untuk menghalau Togog atau Tejamantri menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu. (Benny Benke-81)

Tidak ada komentar: