Senin, 10 Maret 2008

Seinendan Theater Company

Selasa, 11 Juli 2006 . BUDAYA
Teater Lengang ala Jepang

JAKARTA-Tidak sebagaimana galibnya sebuah pertunjukan teater yang penuh hiruk pikuk dengan dialog antarpelakon, Seinendan Theatre Company yang mementaskan ''Tokyo Notes'' menanggalkan semua keriuhrendahan itu. Oriza Hirata sebagai penulis naskah dan sutradara menawarkan sebuah penikmatan teater dengan santun, datar, dan tenang. Bahkan peran ilustrasi musik yang lazimnya menjadi bagian dramatisasi pengadeganan ditiadakan. Lewat ''Tokyo Notes'' atau ''Cacatan Tokyo'' yang dipentaskan di Goethe Haus, Jakarta akhir pekan lalu, realita keseharian dalam arti yang sebenarnya dihadirkan kembali dihadapan penonton oleh teater papan atas dari Tokyo, Jepang itu. Lakon itu pernah mendapatkan penghargaan The 39th Kishida Kunio Drama Award 1995, sebuah penghargaan bergengsi penulisan naskah di Jepang, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Korea. "Tokyo Notes" yang telah dipentaskan di 12 kota di sembilan negara itu tidak hanya mengalir tenang. Bahkan ssaking tenangnya, setelah 90 menit pertama dari 105 menit durasi pertunjukan, banyak penonton yang tertidur di bangkunya masing-masing. Keseharian . Sejatinya konsep teater tenang yang menjadi pilihan Seinendan Theater Company berjalan dengan mengasyikkan. Menggunakan bantuan terjemahan bahasa Indonesia dan Inggris, jalinan cerita perihal 20 pelakonnya itu terhantarkan dengan baik. Ini terbukti ketika segala peristiwa di atas panggung mampu direspons dengan baik oleh penikmatnya. Ini terjadi karena tawaran permasalahan yang ditampilkan di atas panggung sangat berdekatan dengan peristiwa keseharian. Dengan menggunakan teori contemporary colloquial theatre atau teater kontemporer dengan bahasa sehari-hari, apa yang terjadi di atas panggung tidak ada bedanya sama sekali dengan realita keseharian kita. Orang-orang yang lalu-lalang, bertemu karib lama, pembicaraan tentang hal-hal yang remeh, hingga lirih yang tak terdengar layaknya peristiwa keseharian, ada semua. Jangan heran pula jika dalam 15 menit pertama, tidak ada dialog sama sekali kecuali adegan mondar-mandir yang penuh ketenangan dari para pelakonnya. Menggunakan setting pengandaian sebuah galeri lukisan sebagai pusat pertemuan semua pelakonnya, ''Tokyo Notes'' yang menginginkan pementasan dari gambaran dunia nyata, memang berisiko membosankan. Ini terjadi karena efek ketenangan di atas panggung yang nyaris sama dengan suasana lengang, akhirnya membuat sebagian penonton yang tidak cukup mempunyai stamina ketekunan, meninggalkan tempat duduknya dan sebagian tertidur. (Benny Benke-45)
.

Tidak ada komentar: