Senin, 10 Maret 2008

teater Kami

Senin, 03 Juli 2006. BUDAYA
Pentas Teater Kami
Menertawakan Hidup
TEATER Kami pentas di Pusat Kebudayaan Jepang, The Japan Foundation, Jakarta, Jumat (30/6) malam. Sang sutradara, Harris Priadie Bah, menyulap teater menjadi semacam highlight adegan film. Mereka memainkan lakon Perjamuan Kata dan Tubuh-tubuh yang Membaca. Lakon itu merupakan adaptasi bebas karya Hirata Oriza, penulis naskah teater terkemuka di Jepang. Dan lima pelakon utama menghantarkan kisah berdurasi 60 menit itu secara ringan, cerdik, menarik, dan menghibur. Ketaklaziman gaya pementasan sudah terlihat dari penataan panggung. Mereka menggunakan tiga setting yang disekat serta sistem buka-tutup dalam setiap pergantian adegan. Lakon yang merupakan nukilan kejadian sehari-hari itu menjadi sangat mudah dipahami para penikmat. Dukungan musik minus one dan tata lampu yang terfokus seirama dengan adegan membuat tonotonan itu kian bernas. Mereka sebenarnya tak bercerita tentang apa-apa. Cuma memindah kesibukan keseharian orang-orang Jakarta dan gambaran kuasa Tuhan. Alkisah, seseorang sedang shalat subuh dengan latar musik azan. Sementara itu ada tiga sekawan bermain gaple, pemuda menggosok gigi, pelacur menjual diri di bibir trotoar, suami mengamuk. Juga ada banci menyenandungkan tembang sumbang, gay menikah, penumpang kereta rel listrik bercakap-cakap, anak kampus mengobrol, penginjil berkhotbah, atau ramalan Ranggawarsita. Puluhan penonton terpingkal-pingkal menonton berbagai nukilan peristiwa terkini serta beberapa adegan TV dan film yang dipindahkan ke panggung. Misalnya, adegan dalam film Lentera Merah dengan iringan lagu "Genjer-genjer", film 9 Naga, iklan SCTV, atau tokoh Forum Betawi Rempug (FBR) mengamuk. Tak ayal, muncul kesan adegan di balik layar dan proses latihan dialihkan ke panggung. Ya, dengan mencampuradukkan konsep realis, absurd, dan eksperimental, Harris Priadie Bah tampaknya tahu betul menertawakan kehidupan lewat pementasan itu. (Benny Benke-53)

Tidak ada komentar: